Penyimpangan
ajaran Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi
Muhammad
Ibn Abdul Wahab Al-Najdi telah menyampaikan yang menyimpang dari ajaran
Rasulullah, di antaranya:
1)
Meyakini keyakinan tajsim seperti guru
panutannya, yaitu Ibnu Taimiyah
2)
Mengharamkan
shalawat kepada Nabi dan melarang orang membaca shalawat.
Dalam
kitab Al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah, halaman 142, Syaikh
Ahmad Zaini Dahlan menjelaskan bahwa Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi melarang
orang lain membaca shalawat kepada Nabi SAW., karena –menurutnya- membaca shalawat dapat menodai ajaran tauhid.
Dia juga merasa merasa tersiksa jika mendengar orang membaca shalawat. Bahkan
dia tega menyiksa dan membunuh[1]
orang yang membaca shalawat.[2]
3)
Menyamakan
perbuatan yang dilakukan al-Najdi sama dengan perbuatan yang dilakukan oleh
Rasulullah, bahkan al-Najdi berani menyalahkan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah saw seperti menyalahkan apa yang diputuskan oleh Rasulullah dalam
perjanjian Hudaibiyah.
Para pengikut
al-Najdi menyamakan perbuatan syaikhnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah,
seperti menyamakan percobaan pembunuhan terhadap al-Najdi sama dengan kejadian
Suraqah yang berusaha membunuh Rasulullah; pindahnya al-Najdi dari Huraimila
sama dengan hijrahnya Rasulullah dari Mekkah.[3] Penyerangan terhadap kaum muslimin dengan
menghalalkan darah dan hartanya sama dengan jihad dan ghazawah
(peperangan Rasulullah dan para sahabatnya karena mempertahankan Islam).
Kemenangan prang mereka seperti futuhat (fathu Makkah). Orang
yang tunduk kepada mereka disebut muslim, sedangkan orang yang tidak sepaham
disebut murtad.[4]
4)
Menafsirkan
al-Qur’an dan berijtihad semaunya.
Muhammad
Ibn Abdul Wahab Al-Najdi berfatwa kepada pengikutnya untuk menggali hukum dari
sumbernya langsung yaitu al-Qur’an dan al-Hadis sesuai dengan kadar
kemampuannya tanpa mempelajari dan memperhatikan kaidah ilmu tata bahasa arab
(sharaf, mantiq, bayan dll). An-Najdi juga melarang pengikutnya untuk membaca
kitab tafsir, fiqh, hadis dan karya-karya ulama yang kompeten di bidangnya
karena kitab-kitab tersebut mengandung kebatilan dan kesesatan. Fatwa al-Najdi
ini didokumentasikan oleh Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dalam kitab Al-Durar
al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah, halaman 142-143 sebagai
berikut:
“Berijtihadlah sesuai pemahaman dan pendapat kalian. Hukumilah dengan
apa yang kalian lihat cocok untuk agama ini, jangan kalian melihat pada
buku-buku ini yang didalamnya ada kebenaran dan kebatilan.”[5]
5)
Mengkafirkan
ulama yang tidak sepaham dengannya
Muhammad
Ibn Abdul Wahab Al-Najdi bersikap keras kepada ulama yang tidak sepaham
dengannya, bahkan mengkafirkannya. Sikap ini dapat dilihat fatwa-fatwanya, di
antaranya:
a)
Al-Najdi mensejajarkan orang bertawassul dengan orang
kafir, padahal bertawassul merupakan perbuatan yang sangat jelas diperbolehkan
oleh agama (lihat sub bab tawasul).
Dalam kitab Kasyfu al-Syubuhat halaman 39, Al-Najdi menggambarkan
umat Islam bertawassul dengan sebutan sebagai berikut:
“Mereka
orang-orang kafir beribadah memohon kepada Allah siang dan malam. Di antara
mereka ada yang memohon kepada malaikat untuk kemaslahatan dan kedekatan mereka
kepada Allah agar mereka memohonkan ampun kepada Allah untuknya. Atau memohon
kepada orang saleh seperti Lata. Atau kepada Nabi seperti Isa. Dan aku paham
betul bahwa Rasulullah memerangi mereka disebabkan kemusyrikan ini…Mereka
berteriak sebagaimana saudara mereka orang-orang kafir berteriak: “Mengapa ia
menjadikan tuhan-tuhan itu hanya satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu
hal yang sangat mengherankan (QS Shaad:5)”
Dengan pengkafiran umat Islam yang bertawassul ini al-Najdi telah
mengkafirkan mayoritas ulama dan umat Islam. Padahal Allah berfirman:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ (٣٥)مَا لَكُمْ
كَيْفَ تَحْكُمُونَ (٣٦)
Artinya: “ Maka Apakah
patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa
(orang kafir)? atau Ada apa dengan kalian: Bagaimana bisa kamu menghukumi
seperti itu? (QS al Qalam: 35-36)
b)
al-Najdi mengkafirkan
Syaikh Sulaiman ibnu Suhaim (tokoh madzhab Hanbali) melalui surat yang
didokumentasikan dalam kitab Al-Durar al- Saniyyah jilid 10 halaman 31:
نذكر لك انك
انت واباك مصرحون بالكفر والشرك والنفاق!!...
“Kuingatkan kepadamu, sesungguhnya kamu dan ayahmu telah dengan
jelas melakukan kekafiran, kemusyrikan dan kemunafikan.”[6]
c)
al-Najdi
mengkafirkan Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’in
dan Ibnu al-Farid dalam kitab Al-Durar al-
Saniyyah jilid 10 halaman 33:
فابن عربي,وابن سبعين, وابن الفارض,لهم عبادات
وصدقات,ونوع تقشف وتزهد,وهم اكفر اهل الارض...
“Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’in dan Ibnu al-Farid, mereka melakukan
ibadah, sedekah, kesalehan dan kezuhudan, tapi mereka adalah orang yang paling
kafir di muka bumi.”
d) al-Najdi mengkafirkan para sufi dalam kitab Al-Durar
al- Saniyyah jilid 10 halaman 54:
من اعظم الناس ضلالا متصوفة فى معكال وغيره... يتبعون مذهب ابن عربي وابن
الفارض
“Orang yang
paling sesat adalah para sufi di Ma’kal dan tempat lainnya…Mereka mengikuti
jalan Ibnu Arabi dan Ibnu al-Faridl.”
6)
Mewajibkan
orang yang hendak masuk Islam[7]
atau meneguhkan keislaman agar bersaksi atas kekafiran diri dan keluarganya, sekaligus halal darahnya.
Dalam
kitab Al-Durar al-Saniyyah, jilid 10 halaman 143, Muhammad Ibn Abdul
Wahab Al-Najdi menyatakan bahwa setiap orang Islam yang akan masuk ke dalam
golongan wahabi harus mengatakan bahwa sebelumnya dirinya telah kafir dan
orangtuanya yang mati telah mati dalam keadaan kafir. Jika ia tidak mau
melakukannya dan tidak mau mengakuinya, maka dia akan dibunuh dan hartanya
menjadi fai bagi kaum wahabi.[8]
Dalam
kitab al-Nushush al-Islamiyyah fi al-Radd ‘ala Madzhab al-Wahhabiyyah hal.7-8,
Muhammad Faqih Ibnu Abdul Jabbar al-Jawi menjelaskan bahwa jika ada orang yang
mengikuti faham Wahabi dan telah melakukan ibadah haji, maka syaikhnya
(Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi) memerintahkan untuk berhaji lagi, karena
ketika ia berhaji ia masih musyrik yang dapat dipastikan hajinya tidak
diterima. Dengan demikian, kewajiban hajinya belum gugur dan harus dilaksanakan
kembali.[9]
[1]Ada
riwayat yang menjelaskan bahwa ketika
seorang muadzin shalih bermata buta yang mempunyai suara merdu membaca shalawat
setelah adzan, seketika itu juga, muadzin tersebut dibunuh oleh orang suruhan Muhammad Abdul
Wahab al-Najdi. Kemudian Muhammad ibnu Abdul Wahab berkata: “Sesungguhnya dosa
seorang pelacur lebih ringan ketimbang dosa seorang yang bershalawat kepada Nabi SAW. di atas menara.”