Blogger templates

Selasa, 18 Maret 2014

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB: PENYIMPANGAN AJARANNYA EDISI 2

Penyimpangan ajaran Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi
Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi telah menyampaikan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah, di antaranya:
1)   Meyakini keyakinan tajsim seperti guru panutannya, yaitu Ibnu Taimiyah
2)   Mengharamkan shalawat kepada Nabi dan melarang orang membaca shalawat.
Dalam kitab Al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah, halaman 142, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan menjelaskan bahwa Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi melarang orang lain membaca shalawat kepada Nabi SAW., karena –menurutnya-  membaca shalawat dapat menodai ajaran tauhid. Dia juga merasa merasa tersiksa jika mendengar orang membaca shalawat. Bahkan dia tega menyiksa dan membunuh[1] orang yang membaca shalawat.[2]
3)   Menyamakan perbuatan yang dilakukan al-Najdi sama dengan perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah, bahkan al-Najdi berani menyalahkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw seperti menyalahkan apa yang diputuskan oleh Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah.
Para pengikut al-Najdi menyamakan perbuatan syaikhnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, seperti menyamakan percobaan pembunuhan terhadap al-Najdi sama dengan kejadian Suraqah yang berusaha membunuh Rasulullah; pindahnya al-Najdi dari Huraimila sama dengan hijrahnya Rasulullah dari Mekkah.[3] Penyerangan terhadap kaum muslimin dengan menghalalkan darah dan hartanya sama dengan jihad dan ghazawah (peperangan Rasulullah dan para sahabatnya karena mempertahankan Islam). Kemenangan prang mereka seperti futuhat (fathu Makkah). Orang yang tunduk kepada mereka disebut muslim, sedangkan orang yang tidak sepaham disebut murtad.[4]
4)   Menafsirkan al-Qur’an dan berijtihad semaunya.
Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi berfatwa kepada pengikutnya untuk menggali hukum dari sumbernya langsung yaitu al-Qur’an dan al-Hadis sesuai dengan kadar kemampuannya tanpa mempelajari dan memperhatikan kaidah ilmu tata bahasa arab (sharaf, mantiq, bayan dll). An-Najdi juga melarang pengikutnya untuk membaca kitab tafsir, fiqh, hadis dan karya-karya ulama yang kompeten di bidangnya karena kitab-kitab tersebut mengandung kebatilan dan kesesatan. Fatwa al-Najdi ini didokumentasikan oleh Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dalam kitab Al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah, halaman 142-143 sebagai berikut:
“Berijtihadlah sesuai pemahaman dan pendapat kalian. Hukumilah dengan apa yang kalian lihat cocok untuk agama ini, jangan kalian melihat pada buku-buku ini yang didalamnya ada kebenaran dan kebatilan.”[5]
5)   Mengkafirkan ulama yang tidak sepaham dengannya
Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi bersikap keras kepada ulama yang tidak sepaham dengannya, bahkan mengkafirkannya. Sikap ini dapat dilihat fatwa-fatwanya, di antaranya:
a)   Al-Najdi mensejajarkan orang bertawassul dengan orang kafir, padahal bertawassul merupakan perbuatan yang sangat jelas diperbolehkan oleh agama (lihat sub bab tawasul).
Dalam kitab Kasyfu al-Syubuhat halaman 39, Al-Najdi menggambarkan umat Islam bertawassul dengan sebutan sebagai berikut:
“Mereka orang-orang kafir beribadah memohon kepada Allah siang dan malam. Di antara mereka ada yang memohon kepada malaikat untuk kemaslahatan dan kedekatan mereka kepada Allah agar mereka memohonkan ampun kepada Allah untuknya. Atau memohon kepada orang saleh seperti Lata. Atau kepada Nabi seperti Isa. Dan aku paham betul bahwa Rasulullah memerangi mereka disebabkan kemusyrikan ini…Mereka berteriak sebagaimana saudara mereka orang-orang kafir berteriak: “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu hanya satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan (QS Shaad:5)”
Dengan pengkafiran umat Islam yang bertawassul ini al-Najdi telah mengkafirkan mayoritas ulama dan umat Islam. Padahal Allah berfirman:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ (٣٥)مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ (٣٦)
Artinya: “ Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? atau Ada apa dengan kalian: Bagaimana bisa kamu menghukumi seperti itu? (QS al Qalam: 35-36)
b)   al-Najdi mengkafirkan Syaikh Sulaiman ibnu Suhaim (tokoh madzhab Hanbali) melalui surat yang didokumentasikan dalam kitab Al-Durar al- Saniyyah jilid 10 halaman 31:
نذكر لك انك انت واباك مصرحون بالكفر والشرك والنفاق!!...
“Kuingatkan kepadamu, sesungguhnya kamu dan ayahmu telah dengan jelas melakukan kekafiran, kemusyrikan dan kemunafikan.”[6]
c)   al-Najdi mengkafirkan Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’in dan Ibnu al-Farid dalam kitab Al-Durar al- Saniyyah jilid 10 halaman 33:
فابن عربي,وابن سبعين, وابن الفارض,لهم عبادات وصدقات,ونوع تقشف وتزهد,وهم اكفر اهل الارض...
“Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’in dan Ibnu al-Farid, mereka melakukan ibadah, sedekah, kesalehan dan kezuhudan, tapi mereka adalah orang yang paling kafir di muka bumi.”
d)  al-Najdi mengkafirkan para sufi dalam kitab Al-Durar al- Saniyyah jilid 10 halaman 54:
من اعظم الناس ضلالا متصوفة فى معكال وغيره... يتبعون مذهب ابن عربي وابن الفارض
“Orang yang paling sesat adalah para sufi di Ma’kal dan tempat lainnya…Mereka mengikuti jalan Ibnu Arabi dan Ibnu al-Faridl.”
6)   Mewajibkan orang yang hendak masuk Islam[7] atau meneguhkan keislaman agar bersaksi atas kekafiran diri dan keluarganya, sekaligus halal darahnya.
Dalam kitab Al-Durar al-Saniyyah, jilid 10 halaman 143, Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi menyatakan bahwa setiap orang Islam yang akan masuk ke dalam golongan wahabi harus mengatakan bahwa sebelumnya dirinya telah kafir dan orangtuanya yang mati telah mati dalam keadaan kafir. Jika ia tidak mau melakukannya dan tidak mau mengakuinya, maka dia akan dibunuh dan hartanya menjadi fai bagi kaum wahabi.[8]
Dalam kitab al-Nushush al-Islamiyyah fi al-Radd ‘ala Madzhab al-Wahhabiyyah hal.7-8, Muhammad Faqih Ibnu Abdul Jabbar al-Jawi menjelaskan bahwa jika ada orang yang mengikuti faham Wahabi dan telah melakukan ibadah haji, maka syaikhnya (Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi) memerintahkan untuk berhaji lagi, karena ketika ia berhaji ia masih musyrik yang dapat dipastikan hajinya tidak diterima. Dengan demikian, kewajiban hajinya belum gugur dan harus dilaksanakan kembali.[9]



[1]Ada riwayat  yang menjelaskan bahwa ketika seorang muadzin shalih bermata buta yang mempunyai suara merdu membaca shalawat setelah adzan, seketika itu juga, muadzin tersebut  dibunuh oleh orang suruhan Muhammad Abdul Wahab al-Najdi. Kemudian Muhammad ibnu Abdul Wahab berkata: “Sesungguhnya dosa seorang pelacur lebih ringan ketimbang dosa seorang yang bershalawat  kepada Nabi SAW. di atas menara.”