Blogger templates

Sabtu, 01 Februari 2014

FATWA TENTANG TAWASUL 1


Para tokoh wahabi menetapkan bahwa Tawasul adalah haram, pelakunya digolongkan dalam kelompok ahli syirik dan kafir. Pernyataan dan fatwa wahabi ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab ulama mereka, di antaranya:
a.       Ibnu Taimiyah [1]memberi fatwa tentang tawasul sebagai berikut:
1)      Tawasul kepada Nabi Muhammad saw. dengan ketaatan dan keimanan kepadanya, serta memohon doa dan syafaatnya ketika Nabi masih hidup termasuk pokok iman dan islam. Barang siapa mengingkarinya, maka ia termasuk golongan kafir murtad.
2)      Tawassul untuk mendapatkan syafaat pasca wafatnya Rasulullah saw. merupakan perbuatan bid’ah yang dilarang oleh agama.
b.      Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menghukumi tawassul sebagai perbuatan makruh. Fatwa ini ditemukan oleh A. Shihabuddin[2] dalam kitab Majmu’at al-Muallafat halaman 68 sebagai berikut:
Banyak ulama yang tidak menyukai hal itu (tawassul). Kalau kami sependapat dengan jumhurul-ulama yang memandang tawassul itu makruh, tidaklah berarti bahwa kami mengingkari atau melarang orang bertawassul. Kami pun tidak mempersalahkan orang yang melakukan ijtihad mengenai soal itu. Yang kami ingkari dan tidak dapat kami benarkan ialah orang yang lebih banyak minta (berdo’a) kepada sesama makhluk daripada mohon kepada Allah swt. Yang kami maksud ialah orang yang minta-minta kepada kuburan, seperti kuburan Syeikh Abdul Kadir Al-Jailani dan lain-lain. Kepada kuburan-kuburan itu mereka minta supaya diselamatkan dari bahaya, minta supaya dipenuhi keinginannya dan lain sebagainya.”
c.       Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Wahab menghukumi pelaku istighatsah dan tawasul sebagai seorang musyrik akbar, halal darah dan hartanya. Fatwa ini ditemukan oleh Syaikh Idahram[3] dalam kitab Al Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah, jilid 1 halaman 224 sebagai berikut:
“Seseungguhnya orang yang berkata: “Ya Rasulullah, atau ya Ibnu Abbas, atau ya Abdul Qadir, atau yang lainnya dari makhluk Allah, dan dengan perantara itu dia meminta kepada Allah untuk menolak keburukan atau mendatangkan kebaikan dari segala yang tiada yang kuasa kecuali Allah Swt., seperti kesembuhan sakit, menang atas musuh, terjaga dari yang tidak disukai dan sejenisnya, Sesungguhnya orang itu musyrik dengan syirik akbar (terbesar), menyebabkan halal darahnya (untuk dinodai/ dibunuh) dan boleh hartanya (untuk dijarah), meskipun orang itu meyakini bahwa penguasa alam semesta ini adalah Allah Swt. Semata. Sebab, dia telah bermaksud kepada makhluk-makhluk Allah dengan meminta syafaat mereka dan bertaqarrub dengan perantara mereka agar hajatnya kepada Allah dikabulkan berkat kesalehan dan syafaat mereka untuknya dalam masalah itu, ketika mereka di alam barzakh.” 
d.      Ibnu Baz berfatwa bahwa tawassul dengan para Nabi dan para wali adalah musyrik kafir. Fatwa ini ditemukan oleh Syaikh Idahram dalam kitab Ibnu Baz berjudul Fatawa fi al Aqidah halaman 13[4] sebagai berikut:
Orang-orang yang beristighatsah dan bertawassul dengan para nabi dan para wali adalah orang-orang musyrik kafir, seorang muslim tidak boleh menikahi mereka. Mereka tidak boleh masuk ke dalam Masjidil Haram (untuk berhaji). Seorang muslim tidak boleh bergaul dengan mereka dengan cara seperti bermuamalah dengan orang-orang Islam, meskipun mereka menagku jahil (tidak mengerti masalah itu). Mereka wajib dimuamalahi (diperlakukan) dengan muamalah orang-orang kafir.”
e.       Abu Bakar al-Jazairi berfatwa bahwa orang yang bertawasul kekal di dalam neraka. Fatwa ini ditemukan oleh Syaikh Idahram dalam kitab Aqidah al Mu’min halaman 144 sebagi berikut: Tawassul dengan kemuliaan mereka (nabi, wali dan orang saleh) adalah syirik, membuat seseorang keluar dari Islam dan kekal dalam neraka Jahannam.”
Dengan melihat urutan fatwa di atas, dapat diketahui bahwa tokoh utama wahabi memberikan fatwa lebih lunak tentang tawasul. Namun semakin jauh dari tokoh utama, fatwa bagi pelaku tawasul semakin keras, bahkan dihukumi musyrik kafir yang halal darah dan hartanya, bahkan menempati neraka selamanya.
Para penolak Tawasul beragumentasi bahwa Tawasul dilarang oleh agama berdasarkan ayat dan hadis berikut:
a.    QS az Zumar: 3
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللهِ زُلْفَى
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya".
Menurut wahabi, ayat ini menjelaskan bahwa orang yang menggunakan perantara dalam menyembah Allah termasuk perbuatan syirik, baik berupa benda (berhala) ataupun manusia (Nabi, wali atau orang shalih). Dengan kaidah ini, mereka menghukumi orang yang  melakukan tawassul kepada Nabi, wali atau pun orang shalih adalah sama dengan menyembah berhala, yaitu sama-sama menggunakan sarana dalam menyembah Allah. Bahkan pelaku tawasul dihukumi sebagai syirik akbar. [5]
b.    QS Al-Infithar: 17-19
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ (١٧)ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ (١٨)يَوْمَ لا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالأمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ (١٩)
“ tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu?(17) sekali lagi, tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu?(18) (yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah (19).”
Menurut Wahabi, ayat ini memberikan penegasan bahwa apapun dan siapapun tidak akan dapat memberikan manfaat atau pertolongan kepada orang lain. Dengan demikian, melakukan tawasul kepada Nabi, wali atau pun orang shalih adalah sia-sia.
c.    QS Ar-Ra’ad: 14
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
Artinya: “hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka.”
Menurut wahabi, ayat ini memperkuat dua ayat sebelumnya bahwa yang berhak menentukan terkabulnya doa atau permohonan seorang hamba hanyalah Allah, tiada sesuatupun yang mempengaruhinya, termasuk tawasul kepada Nabi, wali atau pun orang shalih. Sebab posisi mereka sama seperti berhala yang tidak mempunyai daya apa-apa.
d.   QS al-Jin: 18
فَلا تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا
Artinya: “Maka janganlah kamu berdoa seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”
Menurut wahabi, ayat ini memberi penegas bahwa berdoa atau memohon sesuatu haruslah langsung kepada Allah, tidak boleh kepada selain-Nya. Sebab berdoa atau memohon sesuatu kepada selain Allah termasuk perbuatan syirik yang sangat dilarang oleh agama Islam.
Para penolak tawasul juga melarang kepada semua orang agar tidak berdoa dengan menyertakan nama seseorang, baik yang masih hidup ataupun yang telah mati.
e.    Qs al-A’raf: 188:
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (١٨٨)
Artinya: “Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".
Menurut wahabi, ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak dapat memberikan manfaat, baik kepada dirinya sendiri, apalagi terhadap orang lain. Jika Nabi Muhammad tidak dapat mendatangkan kemanfaatan bagi dirinya sendiri, bagaimana mungkin dapat mendatangkan kemanfaatan kepada orang lain? Inilah dalil yang nyata dan tegas bahwa tawassul kepada Nabi tidak ada gunanya atau sia-sia. Dengan kata lain, jika tawassul kepada nabi saja termasuk sia-sia, bagaimana dengan tawasul kepada nabi atau orang shalih.  
f.     Hadis Shahih Riwayat al-Tirmidzi
إذَا سَأْلتَ فَاسْألِ اللهَ وَإذَا اْستَعَنْتَ فَاْستَعِنْ بالله وَاْعلَم أنَّ الاُمَّةَ لَو اْجتَمعَتْ علَى اَن
 يْنفََعُو نكَ بِشَيئٍ لمْ ينفَعوكَ إلاَّ بِشَيئٍ قَدْ كتبه اللهُ لكَ وَلَوِ اْجتَمُعوْا علَى أْن يضُرُّوكَ بِشَيئٍ لم يضُرُّوكَ إلاَّ بِشَيئٍ قَدْ كَتَبه الله عليك   
 “Jika engkau minta sesuatu mintalah pada Allah dan jika engkau hendak minta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah, seumpama manusia sedunia berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak akan dapat memberi pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka berkumpul untuk mencelakakan dirimu pun mereka tidak akan dapat berbuat mencelakakan dirimu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah menjadi nasibmu”.
Menurut wahabi, hadis ini memberi penguat dan penegas bahwa berdoa ataupun menyembah haruslah langsung kepada Allah, tidak boleh memakai perantara (tawasul), sebab meminta pertolongan ataupun berdoa melalui perantara -berapapun banyaknya- tidak akan pernah mengubah takdir Allah. BENARKAH DEMIKIAN, SILAHKAN BACA FATWA TAWASUL 2




[1] Penjelasan hukum tawasul Ibnu Taimiyah dapat ditemukan dalam kitabnya Al-Tawasul wa al-Wasilah halaman 13,20 dan 50. (A. Shihabuddin, Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi/Wahabi, tt. hal. 306
[2] A. Shihabuddin, Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi/Wahabi, tt.  hal. 339
[3] Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2011, hal.133
[4] Fatwa ini juga dapat ditemukan dalam kitab  Ibnu Baz Aqidah Shahihah wa Ma Yudhadiduha hal 22

[5] Muhammad Yusuf menjelaskan Tafsir Al-Qur’an Surat Az-Zumar Ayat 2-3 dengan menukil dari kitab Taiseer al-Kareem ar-Rahman Fii Tafsir Kalam al-Mannan vol 6, juz. 23 tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail. Lihat http://catatanmy.wordpress.com/2012/10/16/tafsir-al-quran-surat-az-zumar-ayat-2-3/