Para tokoh wahabi menetapkan bahwa Tawasul adalah haram, pelakunya digolongkan dalam kelompok ahli syirik dan kafir. Pernyataan dan fatwa wahabi ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab ulama mereka, di antaranya:
a.
Ibnu Taimiyah [1]memberi
fatwa tentang tawasul sebagai berikut:
1)
Tawasul kepada Nabi Muhammad saw. dengan ketaatan dan
keimanan kepadanya, serta memohon doa dan syafaatnya ketika Nabi masih hidup
termasuk pokok iman dan islam. Barang siapa mengingkarinya, maka ia termasuk
golongan kafir murtad.
2)
Tawassul untuk mendapatkan syafaat pasca wafatnya
Rasulullah saw. merupakan perbuatan bid’ah yang dilarang oleh agama.
b. Muhammad Ibnu Abdul Wahhab menghukumi
tawassul sebagai perbuatan makruh. Fatwa ini ditemukan oleh A.
Shihabuddin[2]
dalam kitab Majmu’at al-Muallafat halaman 68 sebagai berikut:
“Banyak ulama yang tidak menyukai hal itu (tawassul).
Kalau kami sependapat dengan jumhurul-ulama yang memandang tawassul itu
makruh, tidaklah berarti bahwa kami mengingkari atau melarang orang
bertawassul. Kami pun tidak mempersalahkan orang yang melakukan ijtihad
mengenai soal itu. Yang kami ingkari dan tidak dapat kami benarkan ialah orang
yang lebih banyak minta (berdo’a) kepada sesama makhluk daripada mohon
kepada Allah swt. Yang kami maksud ialah orang yang minta-minta kepada kuburan,
seperti kuburan Syeikh Abdul Kadir Al-Jailani dan lain-lain. Kepada
kuburan-kuburan itu mereka minta supaya diselamatkan dari bahaya, minta supaya
dipenuhi keinginannya dan lain sebagainya.”
c.
Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Wahab menghukumi
pelaku istighatsah dan tawasul sebagai seorang musyrik akbar, halal darah dan
hartanya. Fatwa ini ditemukan oleh Syaikh Idahram[3] dalam
kitab Al Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyyah, jilid 1 halaman
224 sebagai berikut:
“Seseungguhnya
orang yang berkata: “Ya Rasulullah, atau ya Ibnu Abbas, atau ya Abdul Qadir,
atau yang lainnya dari makhluk Allah, dan dengan perantara itu dia meminta
kepada Allah untuk menolak keburukan atau mendatangkan kebaikan dari segala
yang tiada yang kuasa kecuali Allah Swt., seperti kesembuhan sakit, menang atas
musuh, terjaga dari yang tidak disukai dan sejenisnya, Sesungguhnya orang
itu musyrik dengan syirik akbar (terbesar), menyebabkan halal darahnya (untuk
dinodai/ dibunuh) dan boleh hartanya (untuk dijarah), meskipun orang itu
meyakini bahwa penguasa alam semesta ini adalah Allah Swt. Semata. Sebab, dia
telah bermaksud kepada makhluk-makhluk Allah dengan meminta syafaat mereka dan
bertaqarrub dengan perantara mereka agar hajatnya kepada Allah dikabulkan
berkat kesalehan dan syafaat mereka untuknya dalam masalah itu, ketika mereka
di alam barzakh.”
d.
Ibnu Baz berfatwa bahwa tawassul dengan para Nabi dan
para wali adalah musyrik kafir. Fatwa ini ditemukan oleh Syaikh Idahram dalam
kitab Ibnu Baz berjudul Fatawa fi al Aqidah halaman 13[4]
sebagai berikut:
“Orang-orang yang beristighatsah dan
bertawassul dengan para nabi dan para wali adalah orang-orang musyrik kafir,
seorang muslim tidak boleh menikahi mereka. Mereka tidak boleh masuk ke
dalam Masjidil Haram (untuk berhaji). Seorang muslim tidak boleh bergaul dengan
mereka dengan cara seperti bermuamalah dengan orang-orang Islam, meskipun
mereka menagku jahil (tidak mengerti masalah itu). Mereka wajib dimuamalahi
(diperlakukan) dengan muamalah orang-orang kafir.”
e.
Abu Bakar al-Jazairi berfatwa bahwa orang yang
bertawasul kekal di dalam neraka. Fatwa ini ditemukan oleh Syaikh Idahram dalam
kitab Aqidah al Mu’min halaman 144 sebagi berikut: “Tawassul dengan kemuliaan mereka (nabi, wali dan orang
saleh) adalah syirik, membuat seseorang keluar dari Islam dan kekal dalam
neraka Jahannam.”
Dengan melihat urutan fatwa di atas, dapat diketahui
bahwa tokoh utama wahabi memberikan fatwa lebih lunak tentang tawasul. Namun
semakin jauh dari tokoh utama, fatwa bagi pelaku tawasul semakin keras, bahkan
dihukumi musyrik kafir yang halal darah dan hartanya, bahkan menempati neraka
selamanya.
Para penolak Tawasul beragumentasi bahwa Tawasul
dilarang oleh agama berdasarkan ayat dan hadis berikut:
a. QS az Zumar: 3
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا
إِلَى اللهِ زُلْفَى
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung
selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya".
Menurut wahabi, ayat ini menjelaskan bahwa
orang yang menggunakan perantara dalam menyembah Allah termasuk perbuatan
syirik, baik berupa benda (berhala) ataupun manusia (Nabi, wali atau orang
shalih). Dengan kaidah ini, mereka menghukumi orang yang melakukan tawassul kepada Nabi, wali atau pun
orang shalih adalah sama dengan menyembah berhala, yaitu sama-sama menggunakan sarana
dalam menyembah Allah. Bahkan pelaku tawasul dihukumi sebagai syirik akbar. [5]
b. QS Al-Infithar: 17-19
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ (١٧)ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ
مَا يَوْمُ الدِّينِ (١٨)يَوْمَ لا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالأمْرُ يَوْمَئِذٍ
لِلَّهِ (١٩)
“ tahukah kamu Apakah hari
pembalasan itu?(17) sekali lagi, tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu?(18)
(yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang
lain. dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah (19).”
Menurut Wahabi, ayat ini memberikan
penegasan bahwa apapun dan siapapun tidak akan dapat memberikan manfaat atau
pertolongan kepada orang lain. Dengan demikian, melakukan tawasul kepada Nabi,
wali atau pun orang shalih adalah sia-sia.
c. QS Ar-Ra’ad: 14
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ
لا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ
Artinya: “hanya bagi Allah-lah
(hak mengabulkan) doa yang benar. dan berhala-berhala yang mereka sembah selain
Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka.”
Menurut wahabi, ayat ini memperkuat dua
ayat sebelumnya bahwa yang berhak menentukan terkabulnya doa atau permohonan
seorang hamba hanyalah Allah, tiada sesuatupun yang mempengaruhinya, termasuk
tawasul kepada Nabi, wali atau pun orang shalih. Sebab posisi mereka sama
seperti berhala yang tidak mempunyai daya apa-apa.
d. QS al-Jin: 18
فَلا تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا
Artinya: “Maka
janganlah kamu berdoa seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”
Menurut wahabi, ayat ini memberi penegas bahwa berdoa
atau memohon sesuatu haruslah langsung kepada Allah, tidak boleh kepada
selain-Nya. Sebab berdoa atau memohon sesuatu kepada selain Allah termasuk
perbuatan syirik yang sangat dilarang oleh agama Islam.
Para penolak tawasul juga melarang kepada semua orang
agar tidak berdoa dengan menyertakan nama seseorang, baik yang masih hidup
ataupun yang telah mati.
e. Qs al-A’raf: 188:
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا
شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا
مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (١٨٨)
Artinya: “Katakanlah:
"Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula)
menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku
mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan
aku tidak akan ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".
Menurut wahabi, ayat ini menjelaskan bahwa
Nabi Muhammad tidak dapat memberikan manfaat, baik kepada dirinya sendiri,
apalagi terhadap orang lain. Jika Nabi Muhammad tidak dapat mendatangkan
kemanfaatan bagi dirinya sendiri, bagaimana mungkin dapat mendatangkan kemanfaatan
kepada orang lain? Inilah dalil yang nyata dan tegas bahwa tawassul kepada Nabi
tidak ada gunanya atau sia-sia. Dengan kata lain, jika tawassul kepada nabi
saja termasuk sia-sia, bagaimana dengan tawasul kepada nabi atau orang shalih.
f. Hadis Shahih Riwayat al-Tirmidzi
إذَا سَأْلتَ فَاسْألِ اللهَ وَإذَا اْستَعَنْتَ
فَاْستَعِنْ بالله وَاْعلَم أنَّ الاُمَّةَ لَو اْجتَمعَتْ علَى اَن
يْنفََعُو نكَ بِشَيئٍ لمْ ينفَعوكَ إلاَّ بِشَيئٍ قَدْ كتبه
اللهُ لكَ وَلَوِ اْجتَمُعوْا علَى أْن يضُرُّوكَ بِشَيئٍ لم يضُرُّوكَ إلاَّ بِشَيئٍ
قَدْ كَتَبه الله عليك
“Jika engkau minta sesuatu mintalah pada Allah
dan jika engkau hendak minta pertolongan mintalah kepada Allah. Ketahuilah,
seumpama manusia sedunia berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak akan dapat memberi
pertolongan, selain apa yang telah disuratkan Allah bagimu. Dan seumpama mereka
berkumpul untuk mencelakakan dirimu pun mereka tidak akan
dapat berbuat mencelakakan dirimu selain dengan apa yang telah disuratkan Allah
menjadi nasibmu”.
Menurut wahabi, hadis ini memberi penguat dan penegas
bahwa berdoa ataupun menyembah haruslah langsung kepada Allah, tidak boleh
memakai perantara (tawasul), sebab meminta pertolongan ataupun berdoa melalui
perantara -berapapun banyaknya- tidak akan pernah mengubah takdir Allah. BENARKAH DEMIKIAN, SILAHKAN BACA FATWA TAWASUL 2
[1] Penjelasan hukum tawasul Ibnu Taimiyah dapat ditemukan
dalam kitabnya Al-Tawasul wa al-Wasilah halaman 13,20 dan 50. (A.
Shihabuddin, Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi/Wahabi, tt. hal.
306
[3] Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya
Ulama Klasik, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2011, hal.133