Keberadaan Ibnu Taimiyah dalam pandangan tokoh terbagi
menjadi tiga , yaitu:
1) Pujian terhadap Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah mendapat pujian dari para murid dan pengagumnya, bahkan
mengangkatnya dengan gelar syaikhul Islam. Gelar ini diberikan karena
kompetensinya di bidang hadis, ahli kalam, fikih, ahli tafsir, filsuf dan sufi[1].
Di antara para pengagum tersebut adalah:
a)
Ibnu Zamlakani mengatakan: “telah terkumpul dalam dirinya syarat-syarat ijtihad yang sempurna. Dia
memiliki tangan yang panjang dalam hal kebagusan mengarang kitab, keelokan
ungkapan, kesistematisan, pemahaman, dan penjelasan.”[2]
b) Abu al-Fath al-Ya’marî ketika menjawab
pertanyaan-pertanyaan al-Hâfidz Abi al-Abbâs al-Dimyâthî, menyatakan :
“Aku mendapati bahwa beliau memiliki banyak perbendaharaan
ilmu. Beliau nyaris menghapal seluruh kitab-kitab sunan dan juga atsar,
kalau dia berbicara tafsir, maka dialah pemegang panjinya, kalau dia berfatwa
tentang fiqh, maka dia seolah paling menguasai fiqh, kalau dia bicara tentang
hadits, maka dia seolah pemilik ilmunya dan periwayatnya, atau ketika ia
menyampaikan tentang aliran-aliran maka tidak ada lagi yang lebih luas dan
lebih tinggi pembahasannya. Ibnu Taymiyah menguasai semua cabang ilmu.
mata manusia tidak pernah melihat orang seperti dia dan matanya tidak pernah
melihat orang yang menandinginya”.[3]
2) Pujian kemudian celaan kepada Ibnu Taimiyah
Adapun
ulama yang dahulunya memuji Ibnu Taimiyah karena kecerdasan dan kemampuannnya
dalam bidang agama, kemudian mencelanya karena beberapa alasan, di antaranya:
a)
Abu Hayyan mencela Ibnu Taimiyah karena meyakini konsep tajsîm
kepada Allah, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar al Asqallani
dalam kitabnya Al Durar al Kâminah,4/308 sebagai berikut:
“Dahulu ia (Abu Hayyan) mengagungkan Ibnu Taymiah dan memujinya dengan
sebuah qashidah. Kemudian ia menyimpang darinya dan menyebutnya dengan semua
keburukan dan menisbatkannya kepada pendapat tajsîm (meyakini
posturisasi Dzat Allah). Ada yang mengatakan bahwa (sebab ia mengecam Ibnu
Taymiah) adalah ia menyaksikan pendapat Ibnu Taymiah dalam kitabnya al Arsy,
lalu ia mengecamnya sebagai Mujassim (orang yang meyakini konsep
tajsîm).”[4]
b)
Adz-Dzahabi[5]
mencela Ibnu Taimiyah karena ujub,haus memimpin dan melecehkan ulama,
sebagaimana pernyataannya dalam kitab Bayan zaghl al-Ilmi wa al-Thalab
hal. 17 yang dikutip oleh Syaikh Idahram sebagai berikut:
“Saya sudah
lelah mengamati dan menimbang sepak terjangnya, hingga saya merasa agak bosan.
Setelah bertahun-tahun menelitinya, saya menyimpulkan bahwa ternyata penyebab
tidak sejajarnya Ibnu Taimiyah dengan ulama Syam dan Mesir, serta mengapa ia
dibenci, dihina, didustakan, bahkan dikafirkan oleh penduduk Syam dan mesir
adalah, karena ia sombong, terlena oleh diri dan hawa nafsunya (ujub), sangat
haus dan gandrung untuk memimpin para ulama, dan sering melecehkan ulama-ulama
besar. Lihatlah, betapa berbahayanya mengaku-ngaku sesuatu yang tidak dimiliki
dan kecintaan yang sangat terhadap popularitas dan ketenaran. Kita memohon,
semoga Allah memaafkannya.”[6]
c) Dalam kitab al-Durar al-Kaminah (juz
4: 308), Ibnu Hajar al Asqallani berkata:
“Dahulu ia (Abu Hayyan) mengagungkan Ibnu Taymiah dan memujinya dengan
sebuah qashidah. Kemudian ia menyimpang darinya dan menyebutnya dengan semua
keburukan dan menisbatkannya kepada pendapat tajsîm (meyakini
posturisasi Dzat Allah). Ada yang mengatakan bahwa (sebab ia mengecam Ibnu
Taymiah) adalah ia menyaksikan pendapat Ibnu Taymiah dalam kitabnya al-Arsy,
lalu ia mengecamnya sebagai Mujassim (orang yang meyakini konsep
tajsîm).”[7]
3) Cacian terhadap Ibnu Taimiyah
Melihat banyaknya penyimpangan Ibnu Taimiyah terhadap
sunnah Rasul saw. dan ijma’, serta celaan dan hinaan Ibnu Taimiyah terhadap sahabat dan ulama, maka para ulama
berusaha meluruskan dan membuka jati diri Ibnu Taimyah beserta pengikutnya. Di
antara tokoh tersebut adalah:
a)
Imam Abu Bakar al-Husaini mencela Ibnu Taimiyah karena menganut tajsim dan
mencela khulafaur rasyidin dan orang-orang yang terbimbing, sebagaimana pernyataannya
sebagai berikut:
فوجدت فيه ما
أقدر على النطق به، ولا لي انامل تطاوعني على رسمه و تسطيره، لما فيه من تكذيب رب
العالمين، في تنزيهه لنفسه في كتابه المبين، وكذا الازدراء بأصفيائه المنتخبين من
الخلفاء الراشدين، واتباعهم الموفقين،
“…maka aku dapati di dalamnya sesuatu yang aku tidak sanggup mengucapkannya
dan jari jemariku tak sudi menggambarkan dan menjelaskannya di sebabkan di dalamnya
terdapat hal-hal yang mendustakan Allah Rabbul
‘Âlamîn dalam penyucian-Nya terhadap Dzat-Nya dalam kitab suci-Nya demikian
juga ejekan terhadap hamba-hamba pilihan-Nya dari kalangan Khulafa’ Rasyidin
dan para pengikut mereka yang terbimbing…”[8]
b)
Ibnu Hajar
al-Asqalani menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyah mencela dan mempunyai pendapat yang
menyimpang dari pendapat shahabat, tabi’in dan mayoritas ulama karena ingin
menunjukkan bahwa dirinya adalah mujtahid. Pernyataan Ibnu Hajar ini terdapat dalam kitab
Fathu al-Bari jilid 3 halaman 66 sebagai berikut:
واستشعرانه مجتهد فصار يرد على صغير العلماء وكبيرهم
قديمهم وحديثهم حتى انتهى الى عمر-رضى الله عنه-فخطاه فى شيئ...وقال فى حق علي
اخطاء فى سبعة عشر شيئا خالف فيها نص الكتاب
“Dia merasa
dirinya sebagai mujtahid, sehingga dia membantah pendapat ulama yang kecil maupun yang besar, yang terdahulu
maupun yang belakangan sampai berujung pada menyalahkan Umar ra.
…dan dia juga menuduh Ali k.w. telah melakukan tujuh belas kesalahan yang
menyalahi teks al-Qur’an.”[9]
[5] Adz-Dhahabi adalah pengagum berat kepada Ibnu Taimiyah
sewaktu mudanya. Kekaguman ini diabadikan dalam kitab al-‘Uluw berdasarkan manhaj Ibnu
Taimiyah. Setelah menyadari kekeliruan gurunya, beliau meralat pendapatnya
tentang tajsim dalam kitab Sair A’lam an-Nubala. Sedangkan
nasihat kepada Ibnu Taimiyah agar kembali ke jalan yang benar diabadikan dalam
kitabnya al-Nashihah al-Dzahabiyah. Karena itu hendaklah berhati dalam
membaca kitab al-‘Uluw karena, belaiu sendiri telah meralatnya dalam
kitab lainnya