Blogger templates

Selasa, 18 Maret 2014

IBNU TAIMIYAH: PUJIAN DAN CACIAN EDISI 2

Pujian  dan Cacian kepada Ibnu Taimiyah
Keberadaan Ibnu Taimiyah dalam pandangan tokoh terbagi menjadi tiga , yaitu:
1)   Pujian terhadap Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah mendapat pujian dari para murid dan pengagumnya, bahkan mengangkatnya dengan gelar syaikhul Islam. Gelar ini diberikan karena kompetensinya di bidang hadis, ahli kalam, fikih, ahli tafsir, filsuf dan sufi[1]. Di antara para pengagum tersebut adalah:
a)   Ibnu Zamlakani mengatakan: telah terkumpul dalam dirinya syarat-syarat ijtihad yang sempurna. Dia memiliki tangan yang panjang dalam hal kebagusan mengarang kitab, keelokan ungkapan, kesistematisan, pemahaman, dan penjelasan.[2]
b)   Abu al-Fath al-Ya’marî ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan al-Hâfidz Abi al-Abbâs al-Dimyâthî, menyatakan : 
“Aku mendapati bahwa beliau memiliki banyak perbendaharaan ilmu. Beliau nyaris menghapal seluruh kitab-kitab sunan dan juga atsar, kalau dia berbicara tafsir, maka dialah pemegang panjinya, kalau dia berfatwa tentang fiqh, maka dia seolah paling menguasai fiqh, kalau dia bicara tentang hadits, maka dia seolah pemilik ilmunya dan  periwayatnya, atau ketika ia menyampaikan tentang aliran-aliran maka tidak ada lagi yang lebih luas dan lebih tinggi pembahasannya. Ibnu Taymiyah menguasai semua cabang ilmu. mata manusia tidak pernah melihat orang seperti dia dan matanya tidak pernah melihat orang yang menandinginya”.[3]
2)   Pujian kemudian celaan kepada Ibnu Taimiyah
Adapun ulama yang dahulunya memuji Ibnu Taimiyah karena kecerdasan dan kemampuannnya dalam bidang agama, kemudian mencelanya karena beberapa alasan, di antaranya:
a)   Abu Hayyan  mencela Ibnu Taimiyah karena meyakini konsep tajsîm kepada Allah, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar al Asqallani dalam kitabnya Al Durar al Kâminah,4/308 sebagai berikut:
Dahulu ia (Abu Hayyan) mengagungkan Ibnu Taymiah dan memujinya dengan sebuah qashidah. Kemudian ia menyimpang darinya dan menyebutnya dengan semua keburukan dan menisbatkannya kepada pendapat tajsîm (meyakini posturisasi Dzat Allah). Ada yang mengatakan bahwa (sebab ia mengecam Ibnu Taymiah) adalah ia menyaksikan pendapat Ibnu Taymiah dalam kitabnya al Arsy, lalu ia mengecamnya sebagai Mujassim (orang yang meyakini konsep tajsîm).[4]
b)   Adz-Dzahabi[5] mencela Ibnu Taimiyah karena ujub,haus memimpin dan melecehkan ulama, sebagaimana pernyataannya dalam kitab Bayan zaghl al-Ilmi wa al-Thalab hal. 17 yang dikutip oleh Syaikh Idahram sebagai berikut:
“Saya sudah lelah mengamati dan menimbang sepak terjangnya, hingga saya merasa agak bosan. Setelah bertahun-tahun menelitinya, saya menyimpulkan bahwa ternyata penyebab tidak sejajarnya Ibnu Taimiyah dengan ulama Syam dan Mesir, serta mengapa ia dibenci, dihina, didustakan, bahkan dikafirkan oleh penduduk Syam dan mesir adalah, karena ia sombong, terlena oleh diri dan hawa nafsunya (ujub), sangat haus dan gandrung untuk memimpin para ulama, dan sering melecehkan ulama-ulama besar. Lihatlah, betapa berbahayanya mengaku-ngaku sesuatu yang tidak dimiliki dan kecintaan yang sangat terhadap popularitas dan ketenaran. Kita memohon, semoga Allah memaafkannya.”[6]
c)   Dalam kitab al-Durar al-Kaminah (juz 4: 308), Ibnu Hajar al Asqallani berkata:
“Dahulu ia (Abu Hayyan) mengagungkan Ibnu Taymiah dan memujinya dengan sebuah qashidah. Kemudian ia menyimpang darinya dan menyebutnya dengan semua keburukan dan menisbatkannya kepada pendapat tajsîm (meyakini posturisasi Dzat Allah). Ada yang mengatakan bahwa (sebab ia mengecam Ibnu Taymiah) adalah ia menyaksikan pendapat Ibnu Taymiah dalam kitabnya al-Arsy, lalu ia mengecamnya sebagai Mujassim (orang yang meyakini konsep tajsîm).[7]
3)   Cacian terhadap Ibnu Taimiyah
Melihat banyaknya penyimpangan Ibnu Taimiyah terhadap sunnah Rasul saw. dan ijma’, serta celaan dan hinaan Ibnu Taimiyah  terhadap sahabat dan ulama, maka para ulama berusaha meluruskan dan membuka jati diri Ibnu Taimyah beserta pengikutnya. Di antara tokoh tersebut adalah:
a)   Imam Abu Bakar al-Husaini mencela Ibnu Taimiyah karena menganut tajsim dan mencela khulafaur rasyidin dan orang-orang yang terbimbing, sebagaimana pernyataannya sebagai berikut:
فوجدت فيه ما أقدر على النطق به، ولا لي انامل تطاوعني على رسمه و تسطيره، لما فيه من تكذيب رب العالمين، في تنزيهه لنفسه في كتابه المبين، وكذا الازدراء بأصفيائه المنتخبين من الخلفاء الراشدين، واتباعهم الموفقين،                                               
“…maka aku dapati di dalamnya sesuatu yang aku tidak sanggup mengucapkannya dan jari jemariku tak sudi menggambarkan dan menjelaskannya di sebabkan di dalamnya terdapat hal-hal yang mendustakan Allah Rabbul ‘Âlamîn dalam penyucian-Nya terhadap Dzat-Nya dalam kitab suci-Nya demikian juga ejekan terhadap hamba-hamba pilihan-Nya dari kalangan Khulafa’ Rasyidin dan para pengikut mereka yang terbimbing…”[8]
b)   Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyah mencela dan mempunyai pendapat yang menyimpang dari pendapat shahabat, tabi’in dan mayoritas ulama karena ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah mujtahid. Pernyataan Ibnu Hajar ini terdapat dalam kitab Fathu al-Bari jilid 3 halaman 66 sebagai berikut:
واستشعرانه مجتهد فصار يرد على صغير العلماء وكبيرهم قديمهم وحديثهم حتى انتهى الى عمر-رضى الله عنه-فخطاه فى شيئ...وقال فى حق علي اخطاء فى سبعة عشر شيئا خالف فيها نص الكتاب                     
“Dia merasa dirinya sebagai mujtahid, sehingga dia membantah pendapat ulama  yang kecil maupun yang besar, yang terdahulu maupun yang belakangan sampai berujung pada menyalahkan Umar ra. …dan dia juga menuduh Ali k.w. telah melakukan tujuh belas kesalahan yang menyalahi teks al-Qur’an.”[9]


[5] Adz-Dhahabi adalah pengagum berat kepada Ibnu Taimiyah sewaktu mudanya. Kekaguman ini diabadikan dalam kitab  al-‘Uluw berdasarkan manhaj Ibnu Taimiyah. Setelah menyadari kekeliruan gurunya, beliau meralat pendapatnya tentang tajsim dalam kitab Sair A’lam an-Nubala. Sedangkan nasihat kepada Ibnu Taimiyah agar kembali ke jalan yang benar diabadikan dalam kitabnya al-Nashihah al-Dzahabiyah. Karena itu hendaklah berhati dalam membaca kitab al-‘Uluw karena, belaiu sendiri telah meralatnya dalam kitab lainnya