Nama
lengkapnya Abu Abdullah Muhammad ibn Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Rasyid at-Tamimi.Ia dilahirkan di Nejd pada tahun 1115 H,
dan wafat di Diryah dengan usia yang sangat tua (91 tahun) yaitu pada tahun
1201 H.[1]
Ibnu
Abdul Wahab kecil belajar agama kepada ayahnya sendiri yang menjadi qadhi
dengan madzhab Hanbali. Kemudian, ia belajar agama kepada Syaikh Muhamamd Ibnu
Sulaiman al-Kurdi, Syaikh Muhammad Hayat al-Sindi dan ulama lainnya dalam
madzhab Hanbali.[2]
Proses
belajarnya Ibnu Abdul Wahab dalam bidang agama ini berlangsung dalam waktu yang
minim dan terputus-putus, sehingga ilmu yang diperolehnya tidak maksimal. Menurut Syaikh
Idahram dengan mengambil istilah al-Mas’ari menggambarkan posisi Muhammad Ibnu
Abdul Wahab saat itu layaknya ‘ustadz kampung’ yang biasa-biasa saja, tidak dikenal ketokohan dan keulamaannya
oleh ulama yang hidup semasanya, bahkan
tidak diperhitungkan keberadaannya.[3] Ulama-ulama
Wahabi juga mengakui bahwa Muhammad Ibn Abdul Wahab semasa hidupnya tidak pernah
digelari sebagai imam.[4]
Justru semasa belajar, para guru dan ayahnya sendiri mencium gelagat
penyimpangan yang ada pada diri Ibnu Abdul Wahab, terutama setelah melihat
kegemarannya membaca kisah kenabian (nabi palsu) Musailamah al-Kadzdzab, Sajah,
Aswad al-Unsi dan Thulaihah al-Asadi. Kekhawatiran para guru Ibnu Abdul Wahab
ini diungkapkan dalam bentuk nasehat keprihatinan yang dikutip Syaikh Idahram sebagai berikut: “anak ini
akan tersesat dan akan menyesatkan banyak orang...”[5]
Kegemarannya
mengembara untuk berdagang sekaligus menuntut ilmu menjadi salah satu penyebab
banyaknya fatwa kontroversial keluar dari diri Muhammad Ibn Abdul Wahab.
Sebagai contoh, di Damsyik (Damaskus), ia menghabiskan waktunya dengan
mempelajari kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah yang banyak mengandung
kontroversi. Di Basrah, ia bertemu orang orientalis yang
menyamar sebagai syaikh Muhammad al-Majmu’i[6].
Ia banyak bertukar pikiran dan berguru kepadanya. Ia tidak mengetahui bahwa
gurunya tersebut sedang menjalankan misi besar, yaitu menjadi agen kerajaan
Inggris untuk mencari titik lemah kekuatan Turki, sekaligus mencari cara untuk
menghancurkan Turki.[7]
Penyimpangan semakin parah setelah dua agen wanita Inggris yang bernama samaran
Safiyya[8]
dan Asiya[9]
menjalankan misinya untuk mendoktrin
Muhammad Ibn Abdul Wahab dengan berbagai ajaran sesat dengan imbalan rela
dinikani mut’ah.
Setelah melakukan pengembaraan panjang, Muhammad
Ibn Abdul Wahab kembali ke
Najd dengan didampingi syaikh Muhammad al-Majmu’i. Pada
tahun 1143 H, Muhammad Ibn Abdul Wahab mulai menyampaikan keyakinannya yang
dianggap menyimpang kepada orang-orang awam di Najd. Namun, ayah dan masyayikh
di daerahnya menghalau ajaran tersebut. Penyimpangan ajaran Muhammad Ibn
Abdul Wahab disebabkan oleh
Pada
tahun 1153 H, setelah banyaknya wafat, ia dengan leluasa menyebarkan ajarannya.
Karena dianggap menyimpang dari ajaran
Islam, masyarakat marah, hampir-hampir ia terbunuh. Maka, larilah ia ke kota
‘Uyainah. Untuk memudahkan dakwahnya, ia merapat kepada emir (penguasa
di kota tersebut) dengan cara menikahi salah satu kerabat emir. Dengan
menjadi bagian dari keluarga penguasa, Ibn Abdul Wahab menyampaikan ajarannya
kepada masyarakat. Akan tetapi, masyarakat ‘Uyainah merasa keberatan atas
ajarannya, bahkan mengusirnya keluar dari kota tersebut.[10]
Dengan perasaan marah, galau dan dendam, Ibn Abdul
Wahab menuju Dir’iyah, yaitu daerah
Musailamah al-Kadzzab (nabi palsu) beserta pengikutnya yang murtad. Di kota
inilah, ia mendapatkan dukungan penuh dari emir (Muhammad Ibnu Sa’ud)
dan masyarakatnya. Bahkan pada tahun 1165 H, keduanya menjalin kesepakatan
untuk saling mendukung dalam politik maupun dalam da’wah. Dari sinilah awal
penyebaran ajaran ibn Abdul Wahab berkembang, sekaligus kota Dir’iyah menjadi
pusat dakwah Ibn Abdul Wahab. Dengan kekuatan
tentaranya inilah Ibn Abdul Wahab mengukir sejarah berdarah yang
menumpahkan darah ribuan ulama dan kaum muslimin yang berbeda faham dengannya.
Muhammad bin `Abdul Wahab
telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan
hidupnya digunakan untuk menyebarkan ajarannya serta mengabdi sebagai menteri
penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Pada tanggal 29 Syawal 1206 H, Muhammad bin Abdulwahab meninggal dunia dalam usia 92 tahun.
Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).
[6] Nama aslinya Hempher. Ia tokoh oientalis yang ahli
bahasa Arab, Turki dan Parsi. Ia telah lama mempelajari Islam di Turki dan
Iraq. Jika anda ingin mengetahui lebih lengkap tentang Hempher klik
http://asmar.perso.ch/hempher/spy/
[7] Dengan kemampuannya di bidang kajian Islam, Hempher
mampu membius Muhammad ibn Abdul Wahab dengan ajaran-ajaran sesat yang
dibingkai dengan dalil Al-Qur’an dan Hadis. Ada dua prinsip yang ditanamkan
oleh Hempher dalam diri Ibnu Abdul Wahab, yaitu:
1. Ajaran Islam yang dianut oleh umat Islam
waktu itu sudah menyimpang dari prinsip-prinsip dasar, bahkan mereka telah
melakukan perbuatan bid’ah dan syirik. Karena itu, orang-orang Islam harus
diselamatkan. Jika tidak mau, maka halal darahnya.
2. Muhammad ibn Abdul Wahab akan menjadi orang
besar yang bertugas menyelamatkan umat Islam dari ajaran bid’ah, syirik dan
tahayyul. Isyarat itu Hempher dapatkan dari mimpinya yang melihat Nabi Muhammad
saw. mencium kening Ibnu Abdul Wahab dengan mengatakan hal tersebut diatas.
Setelah mampu mendoktrin Muhammad ibn Abdul Wahab,
Hempher menggambarkan dalam memoarnya bahwa Muhammad Ibnu Abdul Wahab mempunyai
jiwa “sangat tidak stabil” (extremely unstable), “sangat kasar” (extremely
rude), berakhlak bejat (morally depraved), selalu gelisah (nervous),
congkak (arrogant), dan dungu (ignorant). Lebih detailnya, memoar
Hempher dapat di download dengan judul “Confessions of a British Spy”
di: http://www.ummah.net/Al-adaab/spy1-7.html
[8] Safiyya adalah agen wanita Inggris beragama Kristen.
Ia dikenalkan oleh Hempher , sekaligus dinikahkan mut’ah dengan Ibnu Abdul
Wahab selama 1 minggu. Kemudian nikah mut’ah ini diperpanjang menjadi 2 bulan
setelah pindah ke Isfahan (Iran).
[9] Asiya adalah agen wanita Inggris beragama Yahudi.
Asiya dikenalkan oleh Abdul Karem (agen Inggris yang menyamar) untuk dinikahi
mut’ah oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab.
[10]Dalam situs
Wikipedia.com dijelaskan Muhammad
bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz dalam bukunya “Al-Imam
Muhammad bin Abdul Wahab, Da'watuhu Wasiratuhu” memberikan pembelaan dengan menjelaskan sebab
kepindahan Ibnu Abdul Wahab dari ‘Uyainah adalah untuk menghindari pertumpahan
darah. Ia seorang diri meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan
berjalan kaki. Perjalanan ini Ia lakukan pada waktu dini hari, dan sampai ke
negeri Dariyah pada waktu malam hari.
Masih dalam situs yang
sama disebutkan bahwa pada mulanya Muhammad Ibn Abdul Wahab mendapat dukungan
penuh dari pemerintah negeri Uyainah. Namun, setelah terjadi pertentangan dan pergolokan
dengan para tokoh ulama di ‘Uyainah, pemerintah mencabut dukungannya. Dengan demikian,
tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk
meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar
dari negeri itu oleh pemerintahnya.