Upaya meminimalisasi dan meredam penyebaran ajaran Ibnu Taimiyah
beserta pengikutnya telah dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai cara,
di antaranya:
1)
Melalui jalur penguasa
Sultan
Muhammad ibnu Qalawun (w. 741 H) telah memenjarakan Ibnu Taimiyah dan mengeluarkan
keputusan resmi pemerintah untuk dibaca
di semua masjid di Mesir dan Syam agar masyarakat menjauhi dan mewaspadai Ibnu
Taimiyah dan pengikutnya.
2)
Melalui karya
ilmiah
Ulama
besar ahlussunnah berusaha meluruskan pendapat Ibnu Taimiyah yang dianggap
menyimpang dari ajaran Islam. Di antara ulama yang meluruskan dan membantah ajaran Ibnu Taimiyah[1]
adalah :




Ke empat ulama yang
juga menjabat qodhi inilah yang merekomendasikan fatwa untuk memenjarakan Ibnu
Taimiyyah.













































3)
Melalui nasehat
Nasehat yang disampaikan ulama tentang Ibnu Taimiyah
terbagi menjadi dua, yaitu:
a) Nasehat kepada Ibnu Taimiyah
Nasehat kepada Ibnu Taimiyah tentang berbagai aktivitas dan kenyelenehannya
yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam disampaikan oleh Imam Adz Dzahabi dalam Risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah juz 2: halaman 9-11 dengan terjemahan sebagai berikut:
“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat
bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di
dalam diriku.
Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat
sedih!!
Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang
berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh… Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang
dapat membantuku dalam menangis!!
Oh… Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan
pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan
orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!
Oh… Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan
semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah
beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada
ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan
mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran
kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar
yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji
pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?!
Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal
engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut
orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik,
karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan
berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka
sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul
tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka
adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat
mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut
dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh,
mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan)
kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan
manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara
tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu
yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci
maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam
lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan
sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu
(Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim].
Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku
adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah
perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika
banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum
al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan
menjadikan hati itu buta.
Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak
makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap
kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan
logika kita??
Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum
filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan
menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah
dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena
mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang
orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut
disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika
orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan,
dan dilaknat.
Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana
dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di
dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah
al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami
tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau
berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah
dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang
yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang
semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada
kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti
kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam
keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat
maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah
mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan
kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang
yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia
membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang
semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya,
adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa
mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang
bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang
pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh
yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia
adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia
adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku
maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka
dengan adil…!
Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan
syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau
akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang
akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu
itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak
lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa
banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu
sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah
memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh
Muslim) dengan caramu tersebut?!
Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari
keritikmu…! Tetapi sebaliknya, dengan semaumu engkau sering merubah
hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau
engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya
bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau
sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi
Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya
engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa
mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini,
sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran
ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai
rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang,
sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya
sangat menyayangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap
dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh,
orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah
orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang
tidak berilmu.
Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan,
namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah
telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang
menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya
adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat.
Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui
segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah,
taufik-Nya, dan hidayah-Nya.
Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas
tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya
sekalian.[2]
b) Nasehat kepada kaum muslimin, terutama para
pecinta ilmu agar berhati-hati terhadap ajaran Ibnu Taimiyah beserta
pengikutnya, di antaranya:
1)) Ibnu Hajar Al Haitami
dalam kitabnya Al Fatawa Al Haditsa: 114 berpesan sebagai berikut:
و أياكَ أن تصغِيْ إلى ما في كتب إبن
تيمية و تلميذه إبن القيم المُلْحِدون قلبه و جعل على بصرِهِ غشاوَةً
“…Hati-hatilah kamu dari
menelaah buku-buku Ibnu Taymiah dan muridnya; Ibnu al Qayyim al Jawziah dan
selain keduanya dari orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan dan
disesatkan Allah kendati ia pandai, serta Ia tutup telinga dan hatinya serta Ia
jadikan atas penglihatannya penutup…”[3]
2)) Al-Imam al-Hafizh Taqiyy al-Din Ali ibn Abd al-Kafi al-Subki dalam
kitabnya al-Durrah al-Mudhiyyah fi
al-Radd ‘ala Ibn Taimiyah mengatakan: “Ibnu Taimiyah benar-benar telah membuat bid’ah-bid’ah dalam dasar-dasar
keyakinan (ushul al-‘aqa’id). Ia telah meruntuhkan tonggak-tonggak dan
sendi-sendi Islam.[4]
3)) Al-Hafizh al-Faqih Waliy al-Din al-‘Iraqi
berkata: “Ibnu Taimiyah telah menyalahi ijma’ dalam banyak
permasalahan, kira-kira sekitar 60 masalah.”[5]