Blogger templates

Sabtu, 01 Februari 2014

FATWA TENTANG TAWASUL 2

MELURUSKAN FATWA WAHABI
Dalil yang dipakai Wahabi untuk menolak Tawasul lebih banyak menggunakan penafsirannya sendiri dengan meminimalisir referensi hadis, penjelasan sahabat atau ulama yang kompeten di bidangnya. Inilah doktrin wahabi yang telah dipraktikkan dan ditanamkan para pendahulu mereka, seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibnu Abdul Wahab, dll., termasuk dilakukan tokoh pembaharu Muhammad Abduh.
Berikut ini akan dikaji dalil-dalil yang dipakai oleh para penolak tawasul sebagai berikut:
1)      QS az Zumar: 3
Kesimpulan yang dibuat oleh para penolak tawasul yang menjadikan ayat ini sebagai dasar dilarangnya tawasul karena dianggap sama dengan perbuatan orang kafir yang menggunakan berhala sebagai perantara dalam menyembah kepada Allah adalah salah sasaran. Menurut Syaikh Maliki al-Hasani, berargumentasi dengan ayat di atas adalah bukan pada tempatnya, karena ayat tersebut jelas menunjukkan pengingkaran terhadap orang musyrik menyangkut penyembahan mereka terhadap berhala yang mendudukkanya sebagai tuhan selain Allah (sekutu bagi Allah), meskipun mereka beranggapan bahwa penyembahan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan mereka kepada Allah Subhaanahu wa ta’aala. Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum musyrikin ini terkait dengan aspek penyembahan mereka terhadap berhala dan aspek keyakinan mereka bahwa berhala adalah tuhan-tuhan di luar Allah Subhaanahu wa ta’aala.[1] Mereka meyakini bahwa berhala mempunyai kekuatan di luar kekuatan Allah yang mampu memberikan manfaat  dan menjauhkan mara bahaya.[2]
Keyakinan orang kafir berbeda dengan orang bertawassul. Orang yang berdoa dengan tawasul tidak meyakini bahwa nabi, wali atau orang salih adalah Tuhan. Mereka juga tidak meyakini bahwa yang mengabulkan doa adalah nabi, wali atau orang salih. Mereka justru meyakini, bahwa pengabul doa adalah Allah, sedangkan bertawasul dalam berdoa merupakan salah satu usaha agar doa yang dipanjatkan diterima dan dikabulkan oleh Allah.[3] Dengan demikian, apakah layak menyamakan orang yang bertawasul dengan perbuatan orang kafir yang menjadikan berhala sebagai Tuhannya?
2)      QS Al-Infithar: 17-19
Penggunaan dalil QS Al-Infithar: 17-1 untuk menolak tawasul juga salah sasaran. Sebab ayat ini menjelaskan tentang bagaimana keadaan seseorang di hari pembalasan. Pada hari itu, setiap manusia akan mempertanggungjawabkan amal perbuatannya yang pernah dilakukan di dunia. Rasa takut, khawatir, was-was dan penuh harap bercampur menjadi satu yang tidak memungkinkan seseorang memikirkan orang lain. Terutama bagi manusia yang jelas melihat bahwa dosanya lebih banyak daripada pahalanya. Apalagi ditambah dengan penyaksian akan kedahsyatan siksa neraka bagi pelaku dosa. Dengan keadaan ini, setiap manusia berupaya tentang bagaimana cara mendapat pertolongan. Satu-satunya cara adalah meminta dan mengharap syafaat kepada orang-orang yang pada hari itu diberi kenikmatan dari Allah. Setelah mereka dimintai syafaat, semuanya menolak. Hanya satu yang mendapat lesensi dan legalitas pemberi syafaaat, yaitu Rasulullah Muhammad saw, seperti keterangan hadis berikut:
“Dari Ibn Umar ra. Berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh matahari mendekat di hari kiamat hingga keringat sampai setengah telinga. Ketika mereka dalam keadaan seperti itu, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) kepada Adam. Adama as. menolak dengan berkata:”Aku bukanlah orang yang pantas untuk itu.” Kemudian mereka beristighatsah kepada Musa as. yang juga memberikan jawaban yang sama. Kemudian mereka beristighatsah kepada Muhamamd saw.  Beliau pun berkenan memberikan syafaatnya, supaya Allah (segera) memutuskan (perkara) khalayak ramai itu. Maka, beliau berjalan hingga berada di depan pintu surga. Pada waktu itulah Allah mengangkat beliau kepada derajat terpuji yang dipuji oleh semua makhluk yang ada di Padang Mahsyar.” (HR Bukhari, Muslim, Thabrani dan lainnya)”[4]
Hadis diatas menjelaskan bahwa manusia di Padang Mahsyar beristighatsah dan tawasul kepada para Nabi, dan Nabi Muhamamd saw. pun mengabulkan permohonan mereka. Dengan berpedoman pada isi hadis ini maka layak diajukan pertanyaan, jika di akhirat manusia diijinkan mencari pengampunan dosa kepada Allah melalui istighatsah dan tawasul kepada Rasulullah saw., apakah ada yang salah jika manusia di dunia juga beristighatsah dan bertawasul untuk memohon kepada Allah agar hidupnya lebih tentram dan lebih baik?
Manusia beristighatsah dan bertawasul melalui orang-orang yang dirahmati Allah hanyalah berharap bahwa Allah berkenan mengabulkan permohonan dan doanya. Mereka juga berkeyakinan bahwa doa akan mudah dikabulkan oleh Allah jika doa tersebut dipanjatkan melalui bantuan para manusia pilihan Allah (para Nabi, wali atau orang shalih). Apakah beristighatsah dan bertawasulseperti ini termasuk menyekutukan Allah?
3)      QS al-Jin: 18
Fatwa pengingkar sunnah yang menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa al-Qur’an melarang berdoa kepada Allah dengan menyertakan nama nabi, wali atau orang salih adalah salah sasaran. Isi kandungan QS al-Jin: 18 adalah larangan menyembah selain Allah dan larangan menyembah berhala walaupun disertai menyembah Allah. Dengan kata lain, ayat ini menjelaskan tentang larangan menyembah kepada Allah dengan disertai menyekutukan kepada-Nya.[5] Sedangkan menyertakan nama seseorang dalam berdoa, bukanlah termasuk menyekutukan Allah. Sebab penyebutan nama tersebut hanyalah perantara, bukan tujuan, tujuannya tetap kepada Allah Swt.[6] Orang bertawassul melalui Nabi, wali dan shalihin bertujuan agar mereka ikut serta memohon kepada Allah, bukan meminta kepada mereka untuk memenuhi doa yang dipanjatkan.[7]
Penyebutan nama dalam doa telah diajarkan Nabi saw. kepada sahabatnya, seperti hadis berikut:
Utsman bin Hanif berkata: Ada seorang laki-laki yang buta datang kepada Rasulullah saw., ia berkata: “Nabi, doakanlah aku, semoga Allah memberikan kesehatan padaku.” Nabi berkata:”Jika kamu mau aku akan akhirkan dan itu baik bagimu, jika kamu mau, aku doakan kamu.” Nabi berkata:” Aku ajari kamu doa.” Setelah itu Nabi memerintahkan kepadanya untuk wudlu dan menyempurnakannya. Setelah itu langsung shalat dan membaca doa ini:
اللهم انّى اسئلك واتوجّه اليك بمحمّد نبيّ الرحمة.يامحمّد انّى قد توجّهت بك الى ربّى فى حاجتى هذه لتقضِىَ.اللهم فشفّعه فِيَّ  )ya Allah, sungguh aku telah menghadap-Mu dan memohon kepada-Mu melalui perantara Muhamamd Nabi Nabi rahmat. Wahai Muhammad, aku telah menghadap Tuhanku melaluimu, aku memohon kepada Tuhanku untuk memenuhi hajatku. Ya Allah, semoga Engkau memberikan pertolongan kepada Muhammad untukku).”[8]
Dalam kitab Shahihul Bukhari (954) disebutkan hadis tentang tawasul sebagi berikut:
“Dari sahabat Anas ibn Malik, bahwasanya Umar ibn Khattab ra. Apabila dalam keadaan paceklik (kekeringan) ia memohon huja dengan wasilah sahabat Abbas Ibn Abd Muthalib, maka berdoa Sayyidina Umar:  اللهم انّا كنّا نتوسّل اليك بنبيّنا فتسقينا وانّانتوسّل بعمّ نبيّنافاسقنا. اقال:فيُسقَون (ya Allah, sesungguhnya kami pernah bertawassul kepada Engkau dengan Nabi saw., maka engkau turunkan hujan. Sekarang kami bertawassul  dengan paman Nabi saw. (sahabat Abbas), maka turunkanlah hujan. Anas berkata: “ maka turunlah hujan kepada kami.”
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (II/ 497) menjelaskan bahwa hadis di atas menunjukkan disunnahkannya bertawasul dengan orang-orang shalih dan keluarga Nabi Saw.
Dengan menggunakan dasar hadis ini sebagai dalil bahwa dalam berdoa diperbolehkan menyertakan nama orang pilihan Allah bukanlah ajaran sesat, tetapi justru merupakan ajaran yang diperbolehkan oleh para sahabat. Lantas, bagaimana orang-orang wahabi dapat menfatwakan larangan menyertakan nama orang pilihan dalam doa? Bukankah hadis tersebut memperbolehkan berdoa dengan menyertakan nama orang pilihan Allah? Ataukah para penolak wahabi lebih mendahulukan akal dan imamnya, sehingga berani meninggalkan referensi hadis? Jika demikian, lebih tinggi mana pendapat seseorang dengan hadis?
4)      QS Ar-Ra’ad: 14, Qs al-A’raf: 188
Para pengingkar tawasul berkeyakinan bahwa orang yang bertawasul pada hakekatnya berdoa kepada selain Allah, serta meyakini bahwa yang mengabulkan doa adalah nabi, wali atau orang salih. Dengan dasar inilah mereka mengambil kesimpulan bahwa semua permohonan kepada selain Allah adalah syirik.
Kesimpulan dan fatwa yang dibuat oleh pengingkar sunnah perlu ditinjau kembali. Perlu ditegaskan bahwa ayat al-Qur’an dan al-Hadis di atas berisi peringatan kepada orang beriman agar tidak lengah, bahwa segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan berasal dari Allah swt. Allah adalah Dzat yang menentukan segalanya. Tiada yang kuasa menghalanginya jika Dia berkehendak, dan tidak ada yang dapat menolaknya, jika Dia ingin menghendaki sesuatu. Dia-lah Sebab Pertama yang menentukan segalanya.[9] Keyakinan ini harus dilekatkan dalam hati dan menjadi dasar dalam melakukan aktifitas hidup, termasuk meminta bantuan kepada sesama makhluk.
Orang beriman, jika meminta bantuan manusia, mereka tetap yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau, sepenuhnya tergantung pada kehendak dan izin Allah swt. Dengan keyakinan seperti ini, apakah orang berlaku syirik manakala ia meminta tolong untuk memenuhi kebutuhannya? Bukankah sikap tersebut sesuai dengan ajaran Rasulullah?
5)      Hadis Shahih Riwayat al-Tirmidzi
Penafsiran para penolak tawasul terhadap hadits Riwayat al-Tirmidzi diatas yang berisi pembatasan permohonan hanya langsung kepada Allah, jika tidak demikian maka pelakunya telah berbuat syirik, adalah penafsiran yang terlalu mengada-ada. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa umat terdahulu meminta kepada Rasulnya agar memohonkan kepada Allah, bahkan rasul pun meminta bantuan orang lain dalam memenuhi hajatnya. Di antara ayat yang dimaksud adalah:
a)      Al-Qur’an surat al-Baqarah: 37
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya: “kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Makna kata kalimatin di QS al-Baqarah: 37 di atas, menurut ahli tafsir[10] berarti menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya (bertawasul). Dengan demikian, ayat ini menjadi bukti bahwa tawasul diperbolehkan, bahkan dilakukan oleh Nabi Adam As. sebelum Rasulullah Saw. dilahirkan ke dunia. Adapun hadis yang dimaksud adalah:
Rasulullah bersabda:”ketika Adam melakukan, ia berkata: يا ربّى انّى اسئلك بحقّ محمّد لما غفرتني(Ya Tuhanku, sesungguhnya aku meminta-Mu dengan kebenaran Muhammad agar Engkau mengampuni diriku”. Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, dari mana engkau tahu Muhammad, padahal dia belum aku ciptakan?” Adam  : “Ya Tuhanku, ketika Engkau menciptakan diriku dengan kekuasaaan-Mu dan Engkau hembuskan ke dalam diriku sebagian dari ruh ciptaan-Mu, amka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang arsy tertulis لااله الاالله محمدرسول الله   maka aku mengerti bahwa Engkau tidaka akan mencamtumkan sesuatu kepada nama-Mu, kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai.” Allah menjawab:”Benar Adam. Sesungguhnya  ia adalah makhluk yang paling Aku cintai, berdoalah dengan melaluinya, maka Aku mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu.”[11]
b)      Al-Qur’an surat al-Naml: 38-40
قَالَ يَا أَيُّهَا الْمَلأ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ (٣٨)قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ (٣٩)قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ (٤٠)
Artinya: “berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri"(38) berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya"(39) berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia"(40)
Dalam QS al-Naml: 38-40 di atas dijelaskan bahwa ketika Nabi Sulaiman as. ingin mendatangkan singgasana Ratu Balqis, beliau tidak langsung meminta kepada Allah Swt., tetapi justru meminta bantuan umatnya yang diberi keistimewaan oleh Allah. Padahal Nabi Sulaiman adalah Rasulullah yang doanya mustajab, kenapa harus meminta bantuan umatnya? Apakah Nabi Sulaiman telah berbuat syirik?
c)      Al-Qur’an surat Yusuf: 93
اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya:” Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah Dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku".
Dalam Qs Yusuf: 93 di atas dijelaskan bahwa Nabi Yusuf as. memerintahkan  untuk mengusapkan bajunya ke wajah bapaknya (Nabi Ya’kub as.) yang tuna netra agar dapat melihat kembali, dan itu terbukti bahwa Nabi Ya’kub as. sembuh dari tuna netra. Dengan melihat kejadian ini, apakah Nabi Yusuf as. dan Nabi Ya’kub as. telah melakukan perbuatan syirik karena tidak meminta langsung kepada Allah Swt.?



[1] Sayyid Muhammad Alwi al Maliki al Hasani al Makki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, .tt.hal 61
[2] A.Shihabuddin menunjukkan bukti bahwa Abu Sufyan bin Harb berteriak meminta tolong kepada berhalanya dalam pereng Uhud dengan mengucapkan: “u’lu Hubal (jayalah Hubal)”. Abu Sufyan dan pasukannya percaya dan yakin bahwa berhala Hubal akan dapat mengalahkan Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin. (lihat A Shihabuddin, Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi/Wahabi,  hal. 342)
[3] Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, Pustaka Pesantren, Yogyakarta 2011, hal. 136
[4]Hadis ini dapat ditemukan dalam shahih muslim bab man sa’ala al-nas takatsuran 5/325 no. 1381 dan bab Dzurriyah man hamalna ma’a Nuh 14/322 no.4343; al-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir bab 3  11/395 no. 932
[5] Abdullah Syamsul Arifin, at.all, Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”, khalista, Surabaya,2008, halaman 60
[6] Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, 2011, hal. 146
[7] Tim FBMPP Kediri, Meluruskan Kesalahan Puku Putih Kyai NU, Bina Aswaja: Surabaya, 2011, hal. 111.
[8] Syaikh Ja’far Subhani, menjelaskan bahwa hadis ini terdapat dalam Sunan Ibn Majah (I/441, no. 1385), Ibnu Majah mengatakan hadis ini shahih, Imam Turmudzi juga mengatakan hadis ini sangat sahih dalam kitabnya Abwab al-Ad’iyah; Musnad Ahmad bin Hanbal  (IV/ 138) meriwayatkan melalui tiga jalur; Mustadrak Hakim (1/213) dengan mengatakan:”Hadis ini shahih menurut syarat syaikhain; Al-Syuyuti dalam Jami’ al-Shaghir, halaman 59; Al-Dhahabi dalam Talkhish Mustadrak dicetak dibagian akhir dari Mustadrak; Al-Taj (kumpulan 5 buku hadis shahih, kecuali shahih Ibnu Majah), (1/ 286).
·         Syaikh Ja’far Subhani juga menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyah menganggap sanadnya benar, termasuk Rifa’I (penulis wahabi kontemporer yang selalu berupaya melemahkan hadis tawasul) menyatakan :”hadis ini shahih dan sangat terkenal”.(Syaikh Ja’far Subhani, Wahabiyah fi Al-Mizan, terj: Zahir, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1989, halaman 74-75.
·         Tim Bahtsul Masail PCNU Jember menemukan upaya pengalihan dalam upaya melemahkan hadis ini. Sebab upaya pertama dianggap gagal, yaitu melemahkan dari sudut sanad dan matan hadis. Upaya yang sedang dihembuskan oleh penolak tawasul adalah mengalihkan penafsiran dari واتوجّه اليك بمحمّد kepada واتوجّه اليك بدعاء محمّد. Penggiringan penafsiran dari bi kepada bidu’i adalah untuk menggiring pecinta ilmu agar menolak tawasul. Sebab kata بدعاء mengandung arti bahwa orang tersebut memohon doa kepada Nabi  Saw.ketika beliau masih hidup, sedangkan memohon didoakan oleh Nabi Saw. ketika sudah wafat tidak diperbolehkan.
Penggiringan pemaknaan yang dilakukan penolak tawasul ini lemah, jika dilihat dari rangkaian hadis di atas. Sebab Nabi Saw. tidak mendoakan orang buta tersebut, tetapi mengajari doa yang dibaca oleh sahabat buta. Sahabat yang buta itu sendiri yang berdoa setelah pergi ke tempat wudlu, sedangkan Nabi Saw. kembali mengajar para sahabat hingga orang buta itu kembali lagi ke majlis dalam keadaan sudah dapat melihat.
Al-Syaukani dalam kitabnya Tuhfat al-Dzakirin, hal 72 dan  al-Dur al-Nadhid hal 5 menyatakan bahwa bertawasul kepada selain Nabi, seperti wali dan orang shalih juga diperbolehkan. Perlu diketahui bahwa al-Syaukani adalah pelopor gerakan ijtihad dan anti madzhab yang disejajarkan oleh Wahabi dengan Ibnu Taimiyah dan Ibn Qayyum, sebagaimana mereka sebutkan dalam kitab al-Mausu’ah al-Muyassarah juz 1 hal. 139-143. (Abdullah Syamsul Arifin, at.all, Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kyai NU”, Op.Cit., halaman 23-25)
[9] A Shihabuddin, Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi/Wahabi,  hal. 344.
[10] A Shihabuddin menjelaskan bahwa keterangan di atas dapat dirujuk pada kitab: Manaqib Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63, hadits ke 89; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah:37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw. (A Shihabuddin, Ibid., hal. 310)
[11] Syaikh Idahram menjelaskan bahwa Hadis ini diriwayatkan oleh Hakim dengan sanad shahih dalam Al-Mustadrak jilid 2 hal. 651; Imam Qasthalani dalam al-Mawahib (2/392,  Imam Zarqoni dalam Syarh al-Mawahib al-Laduniyyah (11/62) dll.(Syaikh Idahram, mereka memalsukan kitab, halaman 144)