MELURUSKAN FATWA WAHABI
Dalil yang dipakai Wahabi untuk menolak Tawasul lebih banyak menggunakan penafsirannya sendiri dengan meminimalisir referensi hadis, penjelasan sahabat atau ulama yang kompeten di bidangnya. Inilah doktrin wahabi yang telah dipraktikkan dan ditanamkan para pendahulu mereka, seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibnu Abdul Wahab, dll., termasuk dilakukan tokoh pembaharu Muhammad Abduh.
Dalil yang dipakai Wahabi untuk menolak Tawasul lebih banyak menggunakan penafsirannya sendiri dengan meminimalisir referensi hadis, penjelasan sahabat atau ulama yang kompeten di bidangnya. Inilah doktrin wahabi yang telah dipraktikkan dan ditanamkan para pendahulu mereka, seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibnu Abdul Wahab, dll., termasuk dilakukan tokoh pembaharu Muhammad Abduh.
Berikut ini akan dikaji dalil-dalil yang dipakai oleh
para penolak tawasul sebagai berikut:
1) QS az Zumar: 3
Kesimpulan
yang dibuat oleh para penolak tawasul yang menjadikan ayat ini sebagai dasar dilarangnya
tawasul karena dianggap sama dengan perbuatan orang kafir yang menggunakan
berhala sebagai perantara dalam menyembah kepada Allah adalah salah sasaran.
Menurut Syaikh Maliki al-Hasani, berargumentasi dengan ayat di atas adalah
bukan pada tempatnya, karena ayat tersebut jelas menunjukkan pengingkaran
terhadap orang musyrik menyangkut penyembahan mereka terhadap berhala yang
mendudukkanya sebagai tuhan selain Allah (sekutu bagi Allah), meskipun mereka
beranggapan bahwa penyembahan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan mereka
kepada Allah Subhaanahu wa ta’aala. Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum
musyrikin ini terkait dengan aspek penyembahan mereka terhadap berhala
dan aspek keyakinan mereka bahwa berhala adalah tuhan-tuhan di luar
Allah Subhaanahu wa ta’aala.[1]
Mereka meyakini bahwa berhala mempunyai kekuatan di luar kekuatan Allah yang
mampu memberikan manfaat dan menjauhkan
mara bahaya.[2]
Keyakinan
orang kafir berbeda dengan orang bertawassul. Orang yang berdoa dengan tawasul tidak
meyakini bahwa nabi, wali atau orang salih adalah Tuhan. Mereka juga tidak
meyakini bahwa yang mengabulkan doa adalah nabi, wali atau orang salih. Mereka
justru meyakini, bahwa pengabul doa adalah Allah, sedangkan bertawasul dalam
berdoa merupakan salah satu usaha agar doa yang dipanjatkan diterima dan
dikabulkan oleh Allah.[3] Dengan
demikian, apakah layak menyamakan orang yang bertawasul dengan perbuatan orang
kafir yang menjadikan berhala sebagai Tuhannya?
2) QS Al-Infithar: 17-19
Penggunaan dalil QS Al-Infithar: 17-1 untuk menolak
tawasul juga salah sasaran. Sebab ayat ini menjelaskan tentang bagaimana
keadaan seseorang di hari pembalasan. Pada hari itu, setiap manusia akan mempertanggungjawabkan
amal perbuatannya yang pernah dilakukan di dunia. Rasa takut, khawatir, was-was
dan penuh harap bercampur menjadi satu yang tidak memungkinkan seseorang
memikirkan orang lain. Terutama bagi manusia yang jelas melihat bahwa dosanya
lebih banyak daripada pahalanya. Apalagi ditambah dengan penyaksian akan kedahsyatan
siksa neraka bagi pelaku dosa. Dengan keadaan ini, setiap manusia berupaya tentang
bagaimana cara mendapat pertolongan. Satu-satunya cara adalah meminta dan mengharap
syafaat kepada orang-orang yang pada hari itu diberi kenikmatan dari Allah.
Setelah mereka dimintai syafaat, semuanya menolak. Hanya satu yang mendapat
lesensi dan legalitas pemberi syafaaat, yaitu Rasulullah Muhammad saw, seperti
keterangan hadis berikut:
“Dari Ibn
Umar ra. Berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh matahari
mendekat di hari kiamat hingga keringat sampai setengah telinga. Ketika mereka
dalam keadaan seperti itu, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) kepada
Adam. Adama as. menolak dengan berkata:”Aku bukanlah orang yang pantas untuk
itu.” Kemudian mereka beristighatsah kepada Musa as. yang juga memberikan
jawaban yang sama. Kemudian mereka beristighatsah kepada Muhamamd saw. Beliau pun berkenan memberikan syafaatnya,
supaya Allah (segera) memutuskan (perkara) khalayak ramai itu. Maka, beliau
berjalan hingga berada di depan pintu surga. Pada waktu itulah Allah mengangkat
beliau kepada derajat terpuji yang dipuji oleh semua makhluk yang ada di Padang
Mahsyar.” (HR Bukhari, Muslim, Thabrani dan lainnya)”[4]
Hadis diatas menjelaskan bahwa manusia di Padang
Mahsyar beristighatsah dan tawasul kepada para Nabi, dan Nabi
Muhamamd saw. pun mengabulkan permohonan mereka. Dengan berpedoman pada isi
hadis ini maka layak diajukan pertanyaan, jika di akhirat manusia diijinkan
mencari pengampunan dosa kepada Allah melalui istighatsah dan tawasul
kepada Rasulullah saw., apakah ada yang salah jika manusia di dunia juga beristighatsah
dan bertawasul untuk memohon kepada Allah agar hidupnya lebih tentram
dan lebih baik?
Manusia beristighatsah dan bertawasul melalui
orang-orang yang dirahmati Allah hanyalah berharap bahwa Allah berkenan
mengabulkan permohonan dan doanya. Mereka juga berkeyakinan bahwa doa akan
mudah dikabulkan oleh Allah jika doa tersebut dipanjatkan melalui bantuan para
manusia pilihan Allah (para Nabi, wali atau orang shalih). Apakah beristighatsah
dan bertawasulseperti ini termasuk menyekutukan Allah?
3) QS al-Jin: 18
Fatwa pengingkar sunnah yang menjadikan ayat ini
sebagai dalil bahwa al-Qur’an melarang berdoa kepada Allah dengan menyertakan
nama nabi, wali atau orang salih adalah salah sasaran. Isi kandungan QS al-Jin:
18 adalah larangan menyembah selain Allah dan larangan menyembah berhala
walaupun disertai menyembah Allah. Dengan kata lain, ayat ini menjelaskan
tentang larangan menyembah kepada Allah dengan disertai menyekutukan kepada-Nya.[5]
Sedangkan menyertakan nama seseorang dalam berdoa, bukanlah termasuk
menyekutukan Allah. Sebab penyebutan nama tersebut hanyalah perantara, bukan
tujuan, tujuannya tetap kepada Allah Swt.[6] Orang
bertawassul melalui Nabi, wali dan shalihin bertujuan agar mereka ikut
serta memohon kepada Allah, bukan meminta kepada mereka untuk memenuhi doa yang
dipanjatkan.[7]
Penyebutan nama dalam doa telah diajarkan Nabi saw. kepada
sahabatnya, seperti hadis berikut:
Utsman bin
Hanif berkata: Ada seorang laki-laki yang buta datang kepada Rasulullah saw.,
ia berkata: “Nabi, doakanlah aku, semoga Allah memberikan kesehatan padaku.”
Nabi berkata:”Jika kamu mau aku akan akhirkan dan itu baik bagimu, jika kamu
mau, aku doakan kamu.” Nabi berkata:” Aku ajari kamu doa.” Setelah itu Nabi memerintahkan
kepadanya untuk wudlu dan menyempurnakannya. Setelah itu langsung shalat dan
membaca doa ini:
اللهم انّى اسئلك
واتوجّه اليك بمحمّد نبيّ الرحمة.يامحمّد انّى قد توجّهت بك الى ربّى فى حاجتى هذه
لتقضِىَ.اللهم فشفّعه فِيَّ )ya Allah, sungguh aku telah menghadap-Mu dan memohon
kepada-Mu melalui perantara Muhamamd Nabi Nabi rahmat. Wahai Muhammad, aku telah
menghadap Tuhanku melaluimu, aku memohon kepada Tuhanku untuk memenuhi hajatku.
Ya Allah, semoga Engkau memberikan pertolongan kepada Muhammad untukku).”[8]
Dalam kitab Shahihul Bukhari (954) disebutkan
hadis tentang tawasul sebagi berikut:
“Dari
sahabat Anas ibn Malik, bahwasanya Umar ibn Khattab ra. Apabila dalam keadaan
paceklik (kekeringan) ia memohon huja dengan wasilah sahabat Abbas Ibn Abd
Muthalib, maka berdoa Sayyidina Umar: اللهم انّا كنّا
نتوسّل اليك بنبيّنا فتسقينا وانّانتوسّل بعمّ نبيّنافاسقنا. اقال:فيُسقَون (ya Allah, sesungguhnya kami pernah bertawassul kepada
Engkau dengan Nabi saw., maka engkau turunkan hujan. Sekarang kami
bertawassul dengan paman Nabi saw.
(sahabat Abbas), maka turunkanlah hujan. Anas berkata: “ maka turunlah hujan
kepada kami.”
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (II/ 497)
menjelaskan bahwa hadis di atas menunjukkan disunnahkannya bertawasul dengan
orang-orang shalih dan keluarga Nabi Saw.
Dengan menggunakan dasar hadis ini sebagai dalil bahwa
dalam berdoa diperbolehkan menyertakan nama orang pilihan Allah bukanlah ajaran
sesat, tetapi justru merupakan ajaran yang diperbolehkan oleh para sahabat.
Lantas, bagaimana orang-orang wahabi dapat menfatwakan larangan menyertakan
nama orang pilihan dalam doa? Bukankah hadis tersebut memperbolehkan berdoa
dengan menyertakan nama orang pilihan Allah? Ataukah para penolak wahabi lebih
mendahulukan akal dan imamnya, sehingga berani meninggalkan referensi hadis?
Jika demikian, lebih tinggi mana pendapat seseorang dengan hadis?
4) QS Ar-Ra’ad: 14, Qs al-A’raf: 188
Para pengingkar tawasul berkeyakinan bahwa orang yang
bertawasul pada hakekatnya berdoa kepada selain Allah, serta meyakini bahwa
yang mengabulkan doa adalah nabi, wali atau orang salih. Dengan dasar inilah
mereka mengambil kesimpulan bahwa semua permohonan kepada selain Allah adalah
syirik.
Kesimpulan dan fatwa yang dibuat oleh pengingkar
sunnah perlu ditinjau kembali. Perlu ditegaskan bahwa ayat al-Qur’an dan al-Hadis
di atas berisi peringatan kepada orang beriman agar tidak lengah, bahwa segala sebab musabab yang mendatangkan kebaikan
berasal dari Allah swt. Allah adalah Dzat yang menentukan segalanya. Tiada yang
kuasa menghalanginya jika Dia berkehendak, dan tidak ada yang dapat menolaknya,
jika Dia ingin menghendaki sesuatu. Dia-lah Sebab
Pertama yang menentukan segalanya.[9] Keyakinan ini harus dilekatkan
dalam hati dan menjadi dasar dalam melakukan aktifitas hidup, termasuk meminta
bantuan kepada sesama makhluk.
Orang beriman, jika meminta bantuan manusia, mereka tetap
yakin bahwa bisa atau tidak, mau atau tidak mau, sepenuhnya tergantung pada
kehendak dan izin Allah swt. Dengan keyakinan seperti ini,
apakah orang berlaku syirik manakala ia meminta tolong untuk memenuhi
kebutuhannya? Bukankah sikap tersebut sesuai
dengan ajaran Rasulullah?
5) Hadis Shahih Riwayat al-Tirmidzi
Penafsiran para penolak tawasul terhadap hadits Riwayat
al-Tirmidzi diatas yang berisi pembatasan permohonan hanya langsung kepada Allah,
jika tidak demikian maka pelakunya telah berbuat syirik, adalah penafsiran yang
terlalu mengada-ada. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa umat
terdahulu meminta kepada Rasulnya agar memohonkan kepada Allah, bahkan rasul
pun meminta bantuan orang lain dalam memenuhi hajatnya. Di antara ayat yang
dimaksud adalah:
a) Al-Qur’an surat al-Baqarah: 37
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ
كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Artinya: “kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
Makna kata kalimatin di QS al-Baqarah: 37 di atas, menurut ahli tafsir[10]
berarti menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi
Muhammad saw. dan keluarganya (bertawasul). Dengan demikian, ayat ini menjadi
bukti bahwa tawasul diperbolehkan, bahkan dilakukan oleh Nabi Adam As. sebelum
Rasulullah Saw. dilahirkan ke dunia. Adapun hadis yang dimaksud adalah:
Rasulullah
bersabda:”ketika Adam melakukan, ia berkata: يا ربّى انّى اسئلك
بحقّ محمّد لما غفرتني“(Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku meminta-Mu dengan kebenaran Muhammad agar Engkau
mengampuni diriku”. Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, dari mana engkau tahu
Muhammad, padahal dia belum aku ciptakan?” Adam
: “Ya Tuhanku, ketika Engkau menciptakan diriku dengan kekuasaaan-Mu dan
Engkau hembuskan ke dalam diriku sebagian dari ruh ciptaan-Mu, amka aku angkat
kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang arsy tertulis لااله الاالله محمدرسول الله maka aku mengerti
bahwa Engkau tidaka akan mencamtumkan sesuatu kepada nama-Mu, kecuali nama
makhluk yang paling Engkau cintai.” Allah menjawab:”Benar Adam.
Sesungguhnya ia adalah makhluk yang
paling Aku cintai, berdoalah dengan melaluinya, maka Aku mengampunimu, dan
andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu.”[11]
b) Al-Qur’an surat al-Naml: 38-40
قَالَ يَا أَيُّهَا الْمَلأ أَيُّكُمْ يَأْتِينِي بِعَرْشِهَا
قَبْلَ أَنْ يَأْتُونِي مُسْلِمِينَ (٣٨)قَالَ عِفْريتٌ مِنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ
بِهِ قَبْلَ أَنْ تَقُومَ مِنْ مَقَامِكَ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ
(٣٩)قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ
يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ
فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ
لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ (٤٠)
Artinya: “berkata
Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang
sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai
orang-orang yang berserah diri"(38) berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan
jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgsana itu kepadamu
sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; Sesungguhnya aku benar-benar kuat
untuk membawanya lagi dapat dipercaya"(39) berkatalah seorang yang
mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu
sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu
terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk
mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa
yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri
dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha
Mulia"(40)
Dalam QS al-Naml: 38-40 di atas dijelaskan bahwa
ketika Nabi Sulaiman as. ingin mendatangkan singgasana Ratu Balqis, beliau
tidak langsung meminta kepada Allah Swt., tetapi justru meminta bantuan umatnya
yang diberi keistimewaan oleh Allah. Padahal Nabi Sulaiman adalah Rasulullah
yang doanya mustajab, kenapa harus meminta bantuan umatnya? Apakah Nabi
Sulaiman telah berbuat syirik?
c) Al-Qur’an surat Yusuf: 93
اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي
يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya:” Pergilah
kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah Dia kewajah ayahku,
nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku".
Dalam
Qs Yusuf: 93 di atas dijelaskan bahwa Nabi Yusuf as. memerintahkan untuk mengusapkan bajunya ke wajah bapaknya
(Nabi Ya’kub as.) yang tuna netra agar dapat melihat kembali, dan itu terbukti
bahwa Nabi Ya’kub as. sembuh dari tuna netra. Dengan melihat kejadian ini,
apakah Nabi Yusuf as. dan Nabi Ya’kub as. telah melakukan perbuatan syirik
karena tidak meminta langsung kepada Allah Swt.?
[2] A.Shihabuddin
menunjukkan bukti bahwa Abu Sufyan bin Harb berteriak meminta tolong kepada
berhalanya dalam pereng Uhud dengan mengucapkan: “u’lu Hubal (jayalah Hubal)”. Abu Sufyan dan pasukannya percaya dan yakin bahwa
berhala Hubal akan dapat mengalahkan Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin. (lihat
A Shihabuddin, Telaah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi/Wahabi, hal. 342)
[3] Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya
Ulama Klasik, Pustaka Pesantren, Yogyakarta 2011, hal. 136
[4]Hadis ini dapat ditemukan dalam shahih muslim bab man
sa’ala al-nas takatsuran 5/325 no. 1381 dan bab Dzurriyah man hamalna
ma’a Nuh 14/322 no.4343; al-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir bab
3 11/395 no. 932
[5] Abdullah Syamsul Arifin, at.all, Membongkar
Kebohongan Buku “Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”,
khalista, Surabaya,2008, halaman 60
[7] Tim FBMPP Kediri, Meluruskan Kesalahan Puku Putih
Kyai NU, Bina Aswaja: Surabaya, 2011, hal. 111.
[8] Syaikh Ja’far Subhani, menjelaskan bahwa hadis ini
terdapat dalam Sunan Ibn Majah (I/441, no. 1385), Ibnu Majah mengatakan
hadis ini shahih, Imam Turmudzi juga mengatakan hadis ini sangat sahih dalam
kitabnya Abwab al-Ad’iyah; Musnad Ahmad bin Hanbal (IV/ 138) meriwayatkan melalui tiga jalur; Mustadrak
Hakim (1/213) dengan mengatakan:”Hadis ini shahih menurut syarat syaikhain;
Al-Syuyuti dalam Jami’ al-Shaghir, halaman 59; Al-Dhahabi dalam Talkhish
Mustadrak dicetak dibagian akhir dari Mustadrak; Al-Taj (kumpulan 5
buku hadis shahih, kecuali shahih Ibnu Majah), (1/ 286).
·
Syaikh Ja’far Subhani juga menjelaskan bahwa Ibnu Taimiyah menganggap
sanadnya benar, termasuk Rifa’I (penulis wahabi kontemporer yang selalu
berupaya melemahkan hadis tawasul) menyatakan :”hadis ini shahih dan sangat
terkenal”.(Syaikh Ja’far Subhani, Wahabiyah fi Al-Mizan, terj: Zahir,
Pustaka Hidayah, Jakarta, 1989, halaman 74-75.
·
Tim Bahtsul Masail PCNU Jember menemukan upaya pengalihan dalam upaya
melemahkan hadis ini. Sebab upaya pertama dianggap gagal, yaitu melemahkan dari
sudut sanad dan matan hadis. Upaya yang sedang dihembuskan oleh penolak tawasul
adalah mengalihkan penafsiran dari واتوجّه اليك بمحمّد kepada واتوجّه اليك بدعاء محمّد. Penggiringan penafsiran dari bi
kepada bidu’i adalah untuk menggiring pecinta ilmu agar menolak tawasul. Sebab
kata بدعاء mengandung arti bahwa orang tersebut memohon doa kepada Nabi Saw.ketika beliau masih hidup, sedangkan
memohon didoakan oleh Nabi Saw. ketika sudah wafat tidak diperbolehkan.
Penggiringan pemaknaan yang dilakukan penolak tawasul
ini lemah, jika dilihat dari rangkaian hadis di atas. Sebab Nabi Saw. tidak
mendoakan orang buta tersebut, tetapi mengajari doa yang dibaca oleh sahabat
buta. Sahabat yang buta itu sendiri yang berdoa setelah pergi ke tempat wudlu,
sedangkan Nabi Saw. kembali mengajar para sahabat hingga orang buta itu kembali
lagi ke majlis dalam keadaan sudah dapat melihat.
Al-Syaukani dalam kitabnya Tuhfat al-Dzakirin,
hal 72 dan al-Dur al-Nadhid hal 5
menyatakan bahwa bertawasul kepada selain Nabi, seperti wali dan orang shalih
juga diperbolehkan. Perlu diketahui bahwa al-Syaukani adalah pelopor gerakan
ijtihad dan anti madzhab yang disejajarkan oleh Wahabi dengan Ibnu Taimiyah dan
Ibn Qayyum, sebagaimana mereka sebutkan dalam kitab al-Mausu’ah
al-Muyassarah juz 1 hal. 139-143. (Abdullah Syamsul Arifin, at.all, Membongkar
Kebohongan Buku “Mantan Kyai NU”, Op.Cit., halaman 23-25)
[10] A Shihabuddin
menjelaskan bahwa keterangan di atas dapat dirujuk pada kitab: Manaqib Ali bin
Abi Thalib, oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63, hadits ke 89; Yanabi’ul
Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada cet.Istanbul,.
halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh
Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1,
halaman 419; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman
60; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari
jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam Jalaluddin
Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah:37 dan meriwayatkan hadits
tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw. (A
Shihabuddin, Ibid., hal. 310)
[11] Syaikh Idahram
menjelaskan bahwa Hadis ini diriwayatkan oleh Hakim dengan sanad shahih dalam Al-Mustadrak
jilid 2 hal. 651; Imam Qasthalani dalam al-Mawahib
(2/392, Imam Zarqoni dalam Syarh
al-Mawahib al-Laduniyyah (11/62) dll.(Syaikh
Idahram, mereka memalsukan kitab, halaman 144)