Blogger templates

Selasa, 18 Maret 2014

IBNU TAIMIYAH DAN PENYIMPANGANNYA EDISI 3

 Penyimpangan Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah telah memberikan fatwa nyleneh dan menyimpang dari ajaran Islam serta dipandang ulama berbahaya bagi umat islam. As-Subki[1] telah mengidentifikasi dan mencatat lebih dari 60 masalah ushul dan furu’ yang menyalahi ijma.[2]Di antara penyimpangan tersebut adalah:
1)      Ibnu Taimiyah Mentajsim Allah
Ibnu Taimiyah menyamakan dzat Allah dengan makhluk-Nya. Allah juga beraktifitas layaknya manusia, sebagaimana pernyataannya dalam kitab Majmû’ Fatâwâ  jilid 5 hal. 527 yang dikutip Syaikh Idahram sebagai berikut:
اذا جلس تبارك وتعالى على الكرسى سمع له اطيط كاءطيط الرحل الجديد
Apabila Allah SWT duduk di atas kursi, maka akan terdengar bunyi mengiuk seperti bunyi pelana kursi unta yang baru diduduki (keriak-keriak- pen.)[3]
Al-Imam al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah) menjelaskan aqidah tajsim Ibnu Taimiyah dalam kitab tafsirnya an-Nahr al-Madd  sebagai berikut:
“Saya telah membaca dalam sebuah buku karya Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang hidup semasa dengan kami, dengan tulisan tangannya sendiri, buku berjudul al-‘Arsy, ia berkata: Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi, dan Dia telah menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia dudukan nabi Muhammad di sana bersama-Nya. Ibn Taimiyah ini adalah orang yang pemikirannya dikuasai oleh pemikiran at-Taj Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Haqq al-Barinbri. Bahkan Ibn Taimiyah ini telah menyerukan dan berdakwah kepada pemikiran orang tersebut, dan mengambil segala pemikirannya darinya.[4]
Dalam kitabnya “Bayan Talbis al-Jahmiyyah, juz 1, halaman 101” Ibnu Taimiyah menjelaskan:
 “Sesungguhnya tidak ada penyebutan baik di dalam al-Qur’an, hadits-hadits nabi, maupun pendapat para ulama Salaf dan para Imam mereka yang menafian tubuh (jism) dari Allah. Juga tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat benda. Dengan demikian mengingkari apa yang telah tetap secara syari’at dan secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah, adalah suatu kebodohan dan kesesatan”[5]
Untuk memperkuat akidak tajsîmnya, Ibnu Taimiyah tak segan-segan mengambil referensi dari kitab Taurat dan Injil[6] dengan mengatakan bahwa kedua kitab tersebut masih asli, sebagaimana pernyataannya dalam kitab Majmû’ Fatâwâ  jilid 5 hal. 405 yang dikutip Syaikh Idahram sebagai berikut:
وفى((الانجيل)) ان المسيح عليه السلام قال: لا تحلفوا بالسماء فانها كرسي الله. وقال للحواريين:ان انتم غفرتم للناس فان اباكم-الذي فى السماء- يغفرلكم
“Dalam kitab Injil, Isa al-Masih as. Mengatakan: Janganlah kalian bersumpah dengan langit karena ia adalah kursi Allah. Isa berkata kepada para muridnya: Jika kalian memaafkan orang lain, maka Tuhan bapak kalian-yang di langit- akan memaafkan kalian…contoh-contoh seperti ini banyak terdapat dalam al-Kitab.[7]
2)      Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa alam dan makhluk adalah kekal
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa alam itu kekal, seperti kekalnya Allah. Syaikh Idahram mengutip pernyataan ini dalam kitab Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, juz 1, h. 224 sebagai berikut:
فان قلتم لنا:فقدقلتم بقيام الحوادث الربّ,قلنالكم:نعم,وهذاقولناالذى دلّ عليه الشرع والعقل                                                                      
jika kalian bertanya kepada kami: “Kalau begitu kalian meyakini makhluk itu kekal bersama Tuhan?, maka kami menjawab:” Ya inilah keyakinan kami yang ditopang oleh syariat dan akal.”[8]
Dalam kitabnya Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul, juz 2 halaman 75, seperti yang dikutip Syaikh Idahram, Ibnu Taimiyah menegaskan aqidah tajsimnya sebagai berikut:
وامااكثراهل الحديث ومن وافقهم فانهم لايجعلون النوع حادثابل قائما
“Mayoritas ahli hadis dan orang-orang yang sependapat dengan mereka tidak menganggap jenis makhluk itu hadis (baru) melainkan qadim (tidak berawal).”[9]
3)      Ibnu Taimiyah membenci keluarga Nabi SAW.
Keluarga Rasulullah adalah keluarga terbaik. Darinya, banyak hadits yang diriwayatkan dan banyak teladan yang dapat diambil. Namun, Ibnu Taimiyah membenci dan mengejeknya, seperti kepada Sayyidina Ali k.w.[10]  Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, mengapa Ibnu Tamiyah membenci  Sayyidina Ali k.w. Tetapi, yang jelas sikapnya ini membawa konsekuensi untuk meragukan, atau  bahkan menolak periwayatan hadits dari Sayyidina Ali k.w.
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah kurang menyukai keluarga Rasulullah, di antaranya:
a)        Sayyidina Ali k.w. diragukan kompetensi dan kredibilitasnya dalam penguasaan ajaran Islam. Ibnu Taimiyah berkata:
 ...ليس فى الائمة الاربعة ولا غيرهم من الفقهاء من يرجع الى عليّ في فقهه...[11]
…tidak ada seorangpun dari imam madzhab yang empat serta para ulama fiqh lainnya yang merujuk kepada Ali dalam fiqhnya…
Untuk menguatkan pendapatnya tentang tidak kredibelnya Sayyidina Ali k.w., Ibnu Taimiyah menyampaikan pendapat imam Syafi’i dengan memberikan keterangan menurut pendapatnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Minhajj al-Sunnah al-Nabawiyah, Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim  Jilid 8, hal. 299 sebagai berikut:
“Dan Syafi’i telah mengumpulkan dalam kitab “Khilaf Ali dan Abdullah”satu juz besar ucapan-ucapan/pendapat-pendapat Ali yang ditinggalkan orang-orang/manusia karena bertentangan dengan nash atau makna nash. Dan setelahnya Muhammad ibn Nasr al Marwazi mengumpulkan lebih banyak lagi. Sebab ia apabila berdebat dengan penduduk Kufah selalu berdalil dengan nash, lalu mereka mengatakan kami mengikuti pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud. Maka ia mengumpulkan untuk mereka banyak pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud yang mereka tinggalkan atau ditinggalkan manusia.”[12]
Pendapat Ibnu Taimiyah yang diikuti penegasan bahwa ulama’ fuqaha sepakat untuk tidak menggunakan fatwa Ali k.w. dalam fiqh ini hanyalah strategi untuk melemahkan kompetensi dan kredibilats Ali dalam ajaran Islam. Padahal berdasarkan fakta, sebagian besar fuqaha menggunakan fatwa Ali k.w. sebagai referensi dalam penetapan hukum.
Adapun Pernyataan Ibnu Taimiyah tentang alasan Imam Syafi’i dan Muhammad ibn Nasr al Marwazi mengumpulkan fatwa pendapat sayyidina Ali yang tidak diikuti oleh keduanya, bukanlah karena bertentangan dengan nash, tetapi  beliau berdua memilih pendapat lain yang lebih kuat.  Pernyataan ini disampaikan sendiri oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab yang sama sebagai berikut:
“Dan Syafi’i dan Muhammad ibn Nshr al Marawzi telah menghimpun kitab besar tentang pendapat-pendapat Ali yang tidak diambil oleh kaum Muslim, sebab pendapat orang lain lebih mengikuti al Kitab dan Sunnah…”[13]
b)        Ibnu Taimiyah memandang bahwa apapun yang dilakukan oleh Ali k.w. adalah salah menurut syariat Islam, sebagaimana pernyataaannya sebagai berikut:
(انه كان) مخذولا, وانه قاتل للرئاسة لا للديانة...فائمة السنة يسلمون انه ماكان القتال ماء مورابه ...[14]
(Ali k.w. adalah) orang yang sial. Di berperang hanya untuk kekuasaan, bukan karena membela agama …para ulama sunnah mengakui bahwa sesungguhnya peperangan (menumpas para pemberontak/ bughat yang dilakukan Ali) itu tidak diperintahkan dalam ajaran Islam.
c)        Ibnu Taimiyah mengkafirkan Ali kw. Pernyataan Ibnu Taimiyah ini dikutip oleh Syaikh Idahram dari kitab al-Durar al Saniyyah juz 9 halaman 292 sebagai berikut:
من دعا علي بن طالب,فقد كفر,و من شك فى كفره,فقد كفر             
Siapa saja yang memanggil-manggil Ali Ibn Abi Thalib maka dia benar-benar kafir, dan siapa saja yang ragu untuk mengkafirkannya maka dia juga telah kafir.”[15]
d)       Ibnu Taimiyah melecehkan Fatimah az-Zahra yang menurut Rasulullah SAW. termasuk perempuan terbaik[16], sebagaimana pernyataannya sebagai berikut:
فكذلك فعلت هي اذلم يعطك ابوبكر رضي الله عنه من ميراث والدها صلى الله عليه وسلم [17]                            
“Begitu juga (Fathimah), dia melakukan hal yang sama (seperti orang munafik), karena Abu Bakar r.a. tidak berkenan memberinya wasiat ayahnya (Rasulullah) SAW.”
e)        Ibnu Taimiyah menyalahkan Sayyidina Husein (cucu Rasulullah) yang digelari Nabi SAW dengan “Sayyid Para Pemuda Surga”, dan membenarkan sikap Yazid ibnu Muawiyah yang telah membantainya di tanah Karbala, sebagaimana pernyataannya sebagai berikut:
ويزيدليس باءعظم جرما من بنى اسرائيل !كان بنو اسرائيل يقتلون الانبياء,وقتل الحسين ليس باءعظم من قتل الانبياء[18]         
Yazid tidak lebih jahat dari Bani Israil, sedangkan bani Israil saja membunuh para Nabi, maka membunuh Husein tidak lebih jahat dari membunuh para nabi.”
4)      Ibnu Taimiyah berbohong dengan mengatasnamakan “ijma’ atau kesepakatan ulama” untuk meyakinkan orang lain
Untuk memperkuat pendapatnya tentang suatu masalah, Ibnu Taimiyah sering mengatasnamakan ijma’, kesepakatan ulama hadis dll. Semua ini dilakukan demi meyakinkan orang lain agar mengikuti pendapatnya, di antaranya Ibnu Taimiyah berbohong tentang riwayat turunnya ayat al-Wilayah dengan mengatakan dalam kitab Minhajussunnah Jilid 2 ditahkik oleh Dr. Muhammad Rasyad Salim, hal. 30 sebagai berikut:
وَقَدْ وَضَعَ بَعْضُ الكَذَّابِيْنَ حَدِيْثًا مُفْتَرًى: أَنَّ هذه الآيَةَ نَزَلَتْ فِيْ عليٍّ لَمَّا تَصَدَّقَ بِخاتَمِهِ في الصلاةِ، و هذا كِذْبٌ بِإِجماعِ أهِلِ العِلْمِ بالنقْلِ، كِذْبَهُ بيِّنٌ مِنْ وُجوهٍ كَثِيْرَةٍ                                                              
 “Para pembohong telah memalsukan hadis buatan bahwa ayat ini turun untuk Ali ketika ia mensedekahkan cincinnya dalam shalat, itu adalah bohong/palsu berdasarkan kesepakatan para ulama dan Ahli Hadis, dan kebohongannya telah tampak dari banyak sisi.”[19]
Dalam realitas sebab turunnya ayat al-wilayah ini ternyata diriwayatkan oleh ulama ahli tafsir kenamaan dari berbagai jalur dan disahihkannya, di antaranya:
a)      Al Hafidz Abu Bakar Ibnu Mardawaih al Ishbahani (W:416 H.) dari jalur Sufyan ats Tsauri dari Abu Sinan bin Said bin Sinan al-Barjani dari ad Dhahhak dari Ibnu Abbas. Jalur ini shahih dan para perawinya tsiqah ia juga meriwayatkan dari jalur lain yang ia katakana bahwa jalur ini tidak dapat dicacat dan ada jalur lain dari Ali as. Ammar dan Abi Rafi’
b)      Abu Said al Asyaj al Kufi (W:257 H.) dalam tafsirnya dari Abu Nu’aim Fadil bin Da’im dari Musa bin Qais al Hadhrami dari Salamah bin Kuhail. Jalur ini shahih dan para perawinyan tisqah, terpercaya.
c)      Jalaluddin as Suyuthi dalam tafsirnya ad Durr al Manstur.2,293 dari jalur al-Khatib, Abdul Razzaq, Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, Abu Syeikh, Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas. Dari jalur ath Thabarani, Ibnu Mardawaih dari Ammar bin Yasin. Dari jalur Abu Syeikh dan ath Thabarani dari Ali as. Dari jalur Ibnu Abi Hatim, Abu Syeikh, dan Ibnu ‘Asâkir dari Salamah bin Kuhail. Dan jalur Ibnu Jarir dari Mujahid, as Suddi dan Uthah bin Hakim. Dan dari jalur ath Thabrani, Ibnu Mardawaih dan Abu Nu’aim dari Abu Rafi’.
Ibnu Taimiyah juga mengatasnamakan ijma’ dalam menta’wil ayat-ayat sifat, seperti yang dikutip Syaikh Idahram dari  “Kitab Tafsir Surat An-Nur  halaman 178-179 karya Ibnu Taimiyah sebagai berikut:
Sungguh semua yang ada di dalam Al-Qur’an tentang ayat-ayat sifat, tidak ada satu pun seorang sahabat yang berbeda pandangan mengenai takwil. Aku telah menelaah tafsir-tafsir yang bersumber dari para sahabat dan hadis-hadis yang mereka riwyatkan, aku juga telah  menelaah kitab-kitab tafsir para ulama besar maupun kecil dari seratus kitab, tapi sampai detik ini aku tidak menemukan seorang pun dari sahabat Nabi mentakwil ayat-ayat sifat atau pun hadis-hadis sifat.”[20]
Pernyataan ini ternyata hanyalah sebuah trik untuk menjustifikasi pendapatnya agar dapat diterima oleh orang awam, atau agar pendapatnya terkesan tidak terbantahkan. Padahal hanya cukup dengan melihat salah satu kitab tafsir saja, seperti Tafsir Ath-Thabari jilid 3 halaman 7, pendapatnya tersebut sudah terbantah. Ath Thabari berkata: “Ahli-ahli takwil dari para sahabat Nabi berbeda pendapat tentang makna “kursi Allah”, sebagian mengatakan itu adalah ilmunya Allah.[21]
5)      Ibnu Taimiyah melemahkan setiap hadis yang bertentangan dengan fahamnya.
Dalam upaya mempertahankan pendapatnya dan meyakinkan orang lain akan kebenaran pendapatnya, Ibnu Taimiyah menolak/ melemahkan  hadis yang bertentangan dengannya dan menguatkan hadits yang mendukungnya, sebagaimana pernyataan hadis muakhah Nabi dengan Ali dan Abu Bakar dengan Umar dalam kitab Minhajus-Sunnah, Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim, jilid 5, hal 71 berikut ini:
“Sesungguhnya Nabi saw. tidak mempersaudarakan siapapun, tidak Ali, tidak juga selainnya. Dan hadis muâkhâh Nabi dengan Ali dan Abu Bakar dengan Umar adalah kebohongan.”
Pernyataan Ibnu Taimiyah ini ternyata bertentangan dengan fakta sejarah yang menjelaskan bahwa Nabi saw. telah mempersaudarakan antara sahabat-sahabat beliau, Abu Bakar dan Umar. Ketika Beliau mempersaudarakan keduanya, maka Ali berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah mempersaudarakan antara sahabat-sahabat Anda, sementara engkau tidak mempersaudarakan antara aku dengan seorangpun? Maka Rasulullah saw. bersabda: أنت أخي في الدنيا و الآخرة (Engkau adalah saudaraku di dunia dan di akhirat). Riwayat ini dapat dirujuk pada: Shahih at Turmudzi,5/595; At Thabaqât,2/60; Mustadrak,3/16; Mashâbîh as Sunnah,4/173; Misykât al Mashâbîh,3/356; Al Istî’âb,3/1089; Al Bidâyah wa An Nihâyah,7/371; Ar Riyâdha an Nadhirah,3/111; Ash Shawâ’iq al Muhriqah:122; Târîkh al Khulafâ’:159.[22]
Sikap Ibnu Taimiyah dalam melemahkan hadits yang tidak sesuai dengan pendapatnya ini ternyata tidak hanya terbatas pada hadis shahih, bahkan hadis yang jelas mutawatir pun didhaifkannya, sebagaimana fatwanya dalam kitab Minhajal-Sunnah jilid 4 halaman 86:
واما قوله: ((من كنت مولاه فعلىٌّ مولاه)) فليس هو فى الصحيح,لكن هو مما رواهه العلماء وتنازع الناس فى صحته ...فلا يصح من طريق الثقات اصلا                                
“Adapun hadis Nabi yang berbunyi, ‘barang siapa yang menjadikan aku sebagai walinya maka Ali juga  walinya,” adalah hadis yang tidak shahih. Itu hanyalah riwayat para ulama. Orang-orang pun berselisih dalam keshahihannya. Tidak ada satupun perawi tsiqah yang meriwayatkannya.”
Hadis di atas yang didhaifkan oleh Ibnu Taimiyah ini ternyata bukanlah hadis dhaif, tetapi justru dishahihmutawatirkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Sair A’lam al-Nubala  jilid 8 halaman 335 dan juga dishahihkan oleh syaikhnya wahabi salafi yaitu Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Silsilah Shahihah jilid 5 halaman 263.[23]Dengan realita ini, wajarlah jika muncul pertanyaan, ada apa dengan Ibnu Taimiyah?
6)      Ibnu Taimiyah sering mencaci dan menghina dan gaya bahasanya kasar
Ibnu Taimiyah sering menghina ulama yang berbeda pendapat dengannya dengan bahasa yang kasar yang tidak layak diucapkan oleh ulama yang digelari pengikutnya sebagai “syaikhul Islam”, contohnya:

Akan tetapi tafsir-tafsir batil seperti ini diyakini oleh banyak kaum jahil (Minhajus Sunnah, karya Ibnu Taymiah, 7/hal. 229)[24]

Maka jelaslah bahwa yang memalsu seperti itu hanya orang yang jahil akan petunjuk Al Qur’an. Dan kebodohan di kalangan kaum rafidhah tidak  aneh!(Minhajus Sunnah, karya Ibnu Taymiah, 7/hal.231)[25]
7)      Ibnu Taimiyah sering memutarbalikkan pendapat atau perbuatan seseorang demi melemahkan pendapat orang yang tidak sepaham dengannya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan beliau dalam kitabnya ”Minhajj al-Sunnah al-Nabawiyah Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim  Jilid 8, hal. 299 sebagai berikut:

“Dan Syafi’i telah mengumpulkan dalam kitab “Khilaf Ali dan Abdullah”satu juz besar ucapan-ucapan/pendapat-pendapat Ali yang ditinggalkan orang-orang/manusia karena bertentangan dengan nash atau makna nash. Dan setelahnya Muhammad ibn Nasr al Marwazi mengumpulkan lebih banyak lagi. Sebab ia apabila berdebat dengan penduduk Kufah selalu berdalil dengan nash, lalu mereka mengatakan kami mengikuti pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud. Maka ia mengumpulkan untuk mereka banyak pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud yang mereka tinggalkan atau ditinggalkan manusia.”[26]
Pendapat Ibnu Taimiyah yang diikuti penegasan bahwa ulama’ fuqaha sepakat untuk tidak menggunakan fatwa Ali k.w. dalam fiqh ini hanyalah strategi untuk melemahkan kompetensi dan kredibilats Ali dalam ajaran Islam. Padahal berdasarkan fakta, sebagian besar fuqaha menggunakan fatwa Ali k.w. sebagai referensi dalam penetapan hukum.
Adapun Pernyataan Ibnu Taimiyah tentang alasan Imam Syafi’i dan Muhammad ibn Nasr al Marwazi mengumpulkan fatwa pendapat sayyidina Ali yang tidak diikuti oleh keduanya, bukanlah karena bertentangan dengan nash, tetapi  beliau berdua memilih pendapat lain yang lebih kuat.