Penyimpangan
Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah telah
memberikan fatwa nyleneh dan menyimpang dari ajaran Islam serta
dipandang ulama berbahaya bagi umat islam. As-Subki[1] telah mengidentifikasi
dan mencatat lebih dari 60 masalah ushul dan furu’ yang menyalahi
ijma.[2]Di antara penyimpangan tersebut adalah:
1)
Ibnu Taimiyah Mentajsim Allah
Ibnu Taimiyah menyamakan dzat Allah dengan makhluk-Nya. Allah juga
beraktifitas layaknya manusia, sebagaimana pernyataannya dalam kitab Majmû’
Fatâwâ jilid 5 hal. 527 yang dikutip
Syaikh Idahram sebagai berikut:
اذا جلس تبارك وتعالى على الكرسى سمع له اطيط كاءطيط الرحل الجديد
“Apabila Allah SWT duduk di atas kursi, maka akan
terdengar bunyi mengiuk seperti bunyi pelana kursi unta yang baru diduduki
(keriak-keriak- pen.)”[3]
Al-Imam al-Mufassir Abu
Hayyan al-Andalusi (salah seorang ulama terkemuka
yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah) menjelaskan aqidah tajsim Ibnu Taimiyah dalam kitab tafsirnya “an-Nahr al-Madd “ sebagai berikut:
“Saya telah membaca dalam sebuah buku karya Ahmad ibn Taimiyah, seorang
yang hidup semasa dengan kami, dengan tulisan tangannya sendiri, buku berjudul
al-‘Arsy, ia berkata: Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi, dan Dia telah
menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia dudukan nabi Muhammad di sana
bersama-Nya. Ibn Taimiyah ini adalah orang yang pemikirannya dikuasai oleh
pemikiran at-Taj Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Haqq al-Barinbri. Bahkan Ibn
Taimiyah ini telah menyerukan dan berdakwah kepada pemikiran orang tersebut,
dan mengambil segala pemikirannya darinya.[4]
Dalam kitabnya “Bayan Talbis al-Jahmiyyah, juz 1, halaman 101” Ibnu Taimiyah menjelaskan:
“Sesungguhnya tidak ada penyebutan
baik di dalam al-Qur’an, hadits-hadits nabi, maupun pendapat para ulama Salaf
dan para Imam mereka yang menafian tubuh (jism) dari Allah. Juga tidak ada
penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat benda.
Dengan demikian mengingkari apa yang telah tetap secara syari’at dan secara
akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah, adalah suatu
kebodohan dan kesesatan”[5]
Untuk
memperkuat akidak tajsîmnya, Ibnu Taimiyah tak segan-segan mengambil
referensi dari kitab Taurat dan Injil[6]
dengan mengatakan bahwa kedua kitab tersebut masih asli, sebagaimana pernyataannya
dalam kitab Majmû’ Fatâwâ jilid 5 hal. 405 yang
dikutip Syaikh Idahram sebagai berikut:
وفى((الانجيل))
ان المسيح عليه السلام قال: لا تحلفوا بالسماء فانها كرسي الله. وقال للحواريين:ان
انتم غفرتم للناس فان اباكم-الذي فى السماء- يغفرلكم
“Dalam
kitab Injil, Isa al-Masih as. Mengatakan: Janganlah kalian bersumpah dengan
langit karena ia adalah kursi Allah. Isa berkata kepada para muridnya: Jika
kalian memaafkan orang lain, maka Tuhan bapak kalian-yang di langit- akan
memaafkan kalian…contoh-contoh seperti ini banyak terdapat dalam al-Kitab.[7]
2)
Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa alam dan makhluk adalah kekal
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa alam itu kekal, seperti kekalnya Allah.
Syaikh Idahram mengutip pernyataan ini dalam kitab Minhaj as-Sunnah
an-Nabawiyyah, juz 1, h. 224 sebagai berikut:
فان قلتم لنا:فقدقلتم بقيام
الحوادث الربّ,قلنالكم:نعم,وهذاقولناالذى دلّ عليه الشرع والعقل
“jika kalian bertanya kepada kami: “Kalau begitu
kalian meyakini makhluk itu kekal bersama Tuhan?, maka kami menjawab:” Ya
inilah keyakinan kami yang ditopang oleh syariat dan akal.”[8]
Dalam kitabnya Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul, juz 2 halaman 75, seperti yang dikutip Syaikh Idahram, Ibnu
Taimiyah menegaskan aqidah tajsimnya sebagai berikut:
وامااكثراهل الحديث ومن وافقهم
فانهم لايجعلون النوع حادثابل قائما
“Mayoritas ahli hadis dan
orang-orang yang sependapat dengan mereka tidak menganggap jenis makhluk itu
hadis (baru) melainkan qadim (tidak berawal).”[9]
3)
Ibnu Taimiyah
membenci keluarga Nabi SAW.
Keluarga Rasulullah adalah keluarga terbaik. Darinya,
banyak hadits yang diriwayatkan dan banyak teladan yang dapat diambil. Namun,
Ibnu Taimiyah membenci dan mengejeknya, seperti kepada Sayyidina
Ali k.w.[10] Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti,
mengapa Ibnu Tamiyah membenci Sayyidina
Ali k.w. Tetapi, yang jelas sikapnya ini membawa
konsekuensi untuk meragukan, atau bahkan
menolak periwayatan hadits dari Sayyidina Ali k.w.
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Ibnu
Taimiyah kurang menyukai keluarga Rasulullah, di antaranya:
a)
Sayyidina Ali k.w. diragukan kompetensi dan kredibilitasnya dalam
penguasaan ajaran Islam. Ibnu Taimiyah berkata:
...ليس فى الائمة الاربعة ولا غيرهم من الفقهاء
من يرجع الى عليّ في فقهه...[11]
…tidak ada seorangpun dari imam
madzhab yang empat serta para ulama fiqh lainnya yang merujuk kepada Ali dalam
fiqhnya…
Untuk menguatkan pendapatnya tentang tidak
kredibelnya Sayyidina Ali k.w., Ibnu Taimiyah menyampaikan pendapat imam
Syafi’i dengan memberikan keterangan menurut pendapatnya sendiri. Hal ini dapat
dilihat dari pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Minhajj al-Sunnah al-Nabawiyah, Tahqiq Dr. Muhammad
Rasyad Salim Jilid 8, hal. 299 sebagai berikut:
“Dan Syafi’i telah mengumpulkan dalam kitab “Khilaf Ali dan
Abdullah”satu juz besar ucapan-ucapan/pendapat-pendapat Ali yang
ditinggalkan orang-orang/manusia karena bertentangan dengan nash atau makna
nash. Dan setelahnya Muhammad ibn Nasr al Marwazi mengumpulkan lebih banyak
lagi. Sebab ia apabila berdebat dengan penduduk Kufah selalu berdalil dengan
nash, lalu mereka mengatakan kami mengikuti pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud. Maka
ia mengumpulkan untuk mereka banyak pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud yang mereka
tinggalkan atau ditinggalkan manusia.”[12]
Pendapat Ibnu Taimiyah
yang diikuti penegasan bahwa ulama’ fuqaha sepakat untuk tidak menggunakan
fatwa Ali k.w. dalam fiqh ini hanyalah strategi untuk melemahkan kompetensi dan
kredibilats Ali dalam ajaran Islam. Padahal berdasarkan fakta, sebagian besar fuqaha menggunakan fatwa Ali k.w.
sebagai referensi dalam penetapan hukum.
Adapun Pernyataan Ibnu Taimiyah tentang alasan Imam Syafi’i dan Muhammad ibn Nasr al
Marwazi mengumpulkan fatwa pendapat sayyidina Ali
yang tidak diikuti oleh keduanya, bukanlah karena bertentangan dengan nash,
tetapi beliau berdua memilih pendapat
lain yang lebih kuat. Pernyataan ini
disampaikan sendiri oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab yang sama sebagai berikut:
“Dan Syafi’i dan Muhammad ibn Nshr al Marawzi telah menghimpun kitab besar
tentang pendapat-pendapat Ali yang tidak diambil oleh kaum Muslim, sebab
pendapat orang lain lebih mengikuti al Kitab dan Sunnah…”[13]
b)
Ibnu Taimiyah memandang
bahwa apapun yang dilakukan oleh Ali k.w. adalah salah menurut syariat Islam,
sebagaimana pernyataaannya sebagai berikut:
(انه كان) مخذولا, وانه قاتل للرئاسة لا
للديانة...فائمة السنة يسلمون انه ماكان القتال ماء مورابه ...[14]
(Ali k.w. adalah) orang yang sial. Di berperang hanya
untuk kekuasaan, bukan karena membela agama …para ulama sunnah mengakui bahwa
sesungguhnya peperangan (menumpas para pemberontak/ bughat yang dilakukan Ali)
itu tidak diperintahkan dalam ajaran Islam.
c)
Ibnu Taimiyah
mengkafirkan Ali kw. Pernyataan Ibnu Taimiyah ini dikutip oleh Syaikh Idahram
dari kitab al-Durar al Saniyyah juz 9 halaman 292 sebagai berikut:
من دعا علي بن طالب,فقد كفر,و من شك
فى كفره,فقد كفر
Siapa saja yang memanggil-manggil Ali Ibn Abi Thalib maka dia benar-benar
kafir, dan siapa saja yang ragu untuk mengkafirkannya maka dia juga telah
kafir.”[15]
d) Ibnu Taimiyah melecehkan Fatimah az-Zahra yang menurut Rasulullah SAW.
termasuk perempuan terbaik[16], sebagaimana pernyataannya
sebagai berikut:
“Begitu juga (Fathimah), dia
melakukan hal yang sama (seperti orang munafik), karena Abu Bakar r.a. tidak
berkenan memberinya wasiat ayahnya (Rasulullah) SAW.”
e)
Ibnu Taimiyah
menyalahkan Sayyidina Husein (cucu Rasulullah) yang digelari Nabi SAW dengan “Sayyid
Para Pemuda Surga”, dan membenarkan sikap Yazid ibnu Muawiyah yang telah
membantainya di tanah Karbala, sebagaimana pernyataannya sebagai berikut:
ويزيدليس باءعظم جرما من بنى اسرائيل !كان بنو اسرائيل يقتلون
الانبياء,وقتل الحسين ليس باءعظم من قتل الانبياء[18]
“Yazid tidak lebih jahat
dari Bani Israil, sedangkan bani Israil saja membunuh para Nabi, maka membunuh
Husein tidak lebih jahat dari membunuh para nabi.”
4)
Ibnu Taimiyah berbohong dengan mengatasnamakan “ijma’ atau kesepakatan
ulama” untuk meyakinkan orang lain
Untuk memperkuat pendapatnya tentang suatu masalah, Ibnu Taimiyah sering
mengatasnamakan ijma’, kesepakatan ulama hadis dll. Semua ini dilakukan
demi meyakinkan orang lain agar mengikuti pendapatnya, di antaranya Ibnu
Taimiyah berbohong tentang riwayat turunnya ayat al-Wilayah dengan mengatakan dalam kitab Minhajussunnah Jilid 2 ditahkik oleh Dr. Muhammad Rasyad Salim, hal. 30 sebagai berikut:
وَقَدْ
وَضَعَ بَعْضُ الكَذَّابِيْنَ حَدِيْثًا مُفْتَرًى: أَنَّ هذه الآيَةَ نَزَلَتْ
فِيْ عليٍّ لَمَّا تَصَدَّقَ بِخاتَمِهِ في الصلاةِ، و هذا كِذْبٌ بِإِجماعِ أهِلِ
العِلْمِ بالنقْلِ، كِذْبَهُ بيِّنٌ مِنْ وُجوهٍ كَثِيْرَةٍ
“Para pembohong telah memalsukan
hadis buatan bahwa ayat ini turun untuk Ali ketika ia mensedekahkan cincinnya
dalam shalat, itu adalah bohong/palsu berdasarkan kesepakatan para ulama
dan Ahli Hadis, dan kebohongannya telah tampak dari banyak sisi.”[19]
Dalam
realitas sebab turunnya ayat al-wilayah ini ternyata diriwayatkan oleh ulama
ahli tafsir kenamaan dari berbagai jalur dan disahihkannya, di antaranya:
a) Al Hafidz Abu Bakar Ibnu Mardawaih al Ishbahani (W:416 H.) dari jalur Sufyan
ats Tsauri dari Abu Sinan bin Said bin Sinan al-Barjani dari ad Dhahhak dari
Ibnu Abbas. Jalur ini shahih dan para perawinya tsiqah ia juga
meriwayatkan dari jalur lain yang ia katakana bahwa jalur ini tidak dapat
dicacat dan ada jalur lain dari Ali as. Ammar dan Abi Rafi’
b) Abu Said al Asyaj al Kufi (W:257 H.) dalam tafsirnya dari Abu Nu’aim Fadil
bin Da’im dari Musa bin Qais al Hadhrami dari Salamah bin Kuhail. Jalur ini
shahih dan para perawinyan tisqah, terpercaya.
c) Jalaluddin as Suyuthi dalam tafsirnya ad Durr al Manstur.2,293
dari jalur al-Khatib, Abdul Razzaq, Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, Abu Syeikh,
Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas. Dari jalur ath Thabarani, Ibnu Mardawaih dari
Ammar bin Yasin. Dari jalur Abu Syeikh dan ath Thabarani dari Ali as. Dari
jalur Ibnu Abi Hatim, Abu Syeikh, dan Ibnu ‘Asâkir dari Salamah bin Kuhail. Dan
jalur Ibnu Jarir dari Mujahid, as Suddi dan Uthah bin Hakim. Dan dari jalur ath
Thabrani, Ibnu Mardawaih dan Abu Nu’aim dari Abu Rafi’.
Ibnu Taimiyah juga mengatasnamakan ijma’ dalam menta’wil ayat-ayat sifat,
seperti yang dikutip Syaikh Idahram dari
“Kitab Tafsir Surat An-Nur halaman 178-179 karya Ibnu Taimiyah sebagai
berikut:
“Sungguh semua yang ada di dalam Al-Qur’an tentang ayat-ayat sifat,
tidak ada satu pun seorang sahabat yang berbeda pandangan mengenai takwil. Aku
telah menelaah tafsir-tafsir yang bersumber dari para sahabat dan hadis-hadis
yang mereka riwyatkan, aku juga telah
menelaah kitab-kitab tafsir para ulama besar maupun kecil dari seratus
kitab, tapi sampai detik ini aku tidak menemukan seorang pun dari sahabat Nabi
mentakwil ayat-ayat sifat atau pun hadis-hadis sifat.”[20]
Pernyataan ini ternyata hanyalah sebuah trik
untuk menjustifikasi pendapatnya agar dapat diterima oleh orang awam, atau agar
pendapatnya terkesan tidak terbantahkan. Padahal hanya cukup dengan melihat
salah satu kitab tafsir saja, seperti Tafsir Ath-Thabari jilid 3
halaman 7, pendapatnya tersebut sudah terbantah. Ath Thabari berkata:
“Ahli-ahli takwil dari para sahabat Nabi berbeda pendapat tentang makna “kursi
Allah”, sebagian mengatakan itu adalah ilmunya Allah.[21]
5) Ibnu Taimiyah melemahkan setiap hadis yang
bertentangan dengan fahamnya.
Dalam upaya mempertahankan pendapatnya dan
meyakinkan orang lain akan kebenaran pendapatnya, Ibnu Taimiyah menolak/
melemahkan hadis yang bertentangan
dengannya dan menguatkan hadits yang mendukungnya, sebagaimana pernyataan hadis
muakhah Nabi dengan Ali dan Abu Bakar dengan Umar dalam kitab Minhajus-Sunnah, Tahqiq Dr. Muhammad
Rasyad Salim, jilid 5, hal 71 berikut ini:
“Sesungguhnya Nabi saw.
tidak mempersaudarakan siapapun, tidak Ali, tidak
juga selainnya. Dan hadis muâkhâh Nabi dengan Ali dan Abu Bakar dengan Umar
adalah kebohongan.”
Pernyataan Ibnu Taimiyah ini ternyata bertentangan dengan fakta sejarah
yang menjelaskan bahwa Nabi saw. telah mempersaudarakan
antara sahabat-sahabat beliau, Abu Bakar dan Umar. Ketika Beliau mempersaudarakan keduanya, maka Ali berkata, “Wahai
Rasulullah, engkau telah mempersaudarakan antara sahabat-sahabat Anda,
sementara engkau tidak mempersaudarakan antara aku dengan seorangpun? Maka
Rasulullah saw. bersabda: أنت أخي في الدنيا و الآخرة (Engkau adalah saudaraku
di dunia dan di akhirat). Riwayat ini dapat dirujuk pada: Shahih at
Turmudzi,5/595; At Thabaqât,2/60; Mustadrak,3/16; Mashâbîh as
Sunnah,4/173; Misykât al Mashâbîh,3/356; Al Istî’âb,3/1089; Al Bidâyah wa An
Nihâyah,7/371; Ar Riyâdha an Nadhirah,3/111; Ash Shawâ’iq al Muhriqah:122;
Târîkh al Khulafâ’:159.[22]
Sikap Ibnu Taimiyah
dalam melemahkan hadits yang tidak sesuai dengan pendapatnya ini ternyata tidak
hanya terbatas pada hadis shahih, bahkan hadis yang jelas mutawatir pun didhaifkannya,
sebagaimana fatwanya dalam kitab Minhajal-Sunnah jilid 4 halaman 86:
واما قوله: ((من كنت مولاه فعلىٌّ
مولاه)) فليس هو فى الصحيح,لكن هو مما رواهه العلماء وتنازع الناس فى
صحته ...فلا يصح من طريق الثقات اصلا
“Adapun hadis Nabi yang berbunyi, ‘barang siapa yang menjadikan
aku sebagai walinya maka Ali juga
walinya,” adalah hadis yang tidak shahih. Itu hanyalah riwayat para
ulama. Orang-orang pun berselisih dalam keshahihannya. Tidak ada satupun perawi
tsiqah yang meriwayatkannya.”
Hadis di atas yang didhaifkan
oleh Ibnu Taimiyah ini ternyata bukanlah hadis dhaif, tetapi justru dishahihmutawatirkan
oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya Sair A’lam al-Nubala jilid 8 halaman 335 dan juga dishahihkan oleh
syaikhnya wahabi salafi yaitu Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Silsilah
Shahihah jilid 5 halaman 263.[23]Dengan
realita ini, wajarlah jika muncul pertanyaan, ada apa dengan Ibnu Taimiyah?
6)
Ibnu Taimiyah sering mencaci dan menghina dan gaya bahasanya kasar
Ibnu Taimiyah sering menghina ulama yang berbeda
pendapat dengannya dengan bahasa yang kasar yang tidak layak diucapkan oleh
ulama yang digelari pengikutnya sebagai “syaikhul Islam”, contohnya:
“Akan tetapi tafsir-tafsir batil seperti ini diyakini oleh banyak kaum jahil (Minhajus Sunnah, karya
Ibnu Taymiah, 7/hal. 229)[24]
“Maka jelaslah bahwa yang memalsu seperti itu hanya orang yang jahil akan
petunjuk Al Qur’an. Dan kebodohan di kalangan kaum rafidhah tidak aneh!(Minhajus Sunnah, karya Ibnu Taymiah, 7/hal.231)[25]
7)
Ibnu Taimiyah sering memutarbalikkan pendapat atau
perbuatan seseorang demi melemahkan pendapat orang yang tidak sepaham
dengannya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan beliau dalam kitabnya ”Minhajj
al-Sunnah al-Nabawiyah” Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim Jilid 8, hal. 299 sebagai berikut:
“Dan Syafi’i telah mengumpulkan
dalam kitab “Khilaf Ali dan Abdullah”satu juz besar
ucapan-ucapan/pendapat-pendapat Ali yang ditinggalkan orang-orang/manusia karena
bertentangan dengan nash atau makna nash. Dan setelahnya Muhammad ibn Nasr
al Marwazi mengumpulkan lebih banyak lagi. Sebab ia apabila berdebat dengan
penduduk Kufah selalu berdalil dengan nash, lalu mereka mengatakan kami
mengikuti pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud. Maka ia mengumpulkan untuk mereka
banyak pendapat Ali dan Ibnu Mas’ud yang mereka tinggalkan atau ditinggalkan
manusia.”[26]
Pendapat Ibnu Taimiyah yang diikuti penegasan bahwa ulama’ fuqaha sepakat
untuk tidak menggunakan fatwa Ali k.w. dalam fiqh ini hanyalah strategi untuk
melemahkan kompetensi dan kredibilats Ali dalam ajaran Islam. Padahal
berdasarkan fakta, sebagian besar fuqaha menggunakan fatwa Ali k.w. sebagai
referensi dalam penetapan hukum.
Adapun Pernyataan Ibnu
Taimiyah tentang alasan Imam Syafi’i dan Muhammad ibn Nasr al Marwazi
mengumpulkan fatwa pendapat sayyidina Ali yang tidak diikuti oleh keduanya, bukanlah
karena bertentangan dengan nash, tetapi
beliau berdua memilih pendapat lain yang lebih kuat.