Sebab-Sebab penyimpangan Ibnu Taimiyah
Pada
awalnya, Adz-Dzahabi sangat mengagumi dan menyanjung Ibnu Taimiyah, kemudian
mencela dan menasehatinya karena banyaknya penyimpangan yang dilakukannya. Dalam
kitab Bayan zaghl al-Ilmi wa al-Thalab hal. 17 yang dikutip oleh Syaikh
Idahram Menurutnya, Ibnu Taimiyah menyimpang dari ajaran Islam karena tiga hal,
yaitu:
1)
Ibnu Taimiyah mempunyai sifat sombong (ujub) yang
senang memuji diri sendiri.
Dengan berbagai kelebihan yang diberikan oleh Allah
(kecerdasan, penguasaan berbagai disiplin ilmu, posisi yang selalu dipuji dan
ditempatkan pada tempat yang tinggi oleh para pengagumnya) telah mengantarkannya
menjadi pribadi yang sombong yang menganggap bahwa dirinya yang paling mampu
memahami agama Islam, sedangkan yang lainnya salah. Karena orang lain mempunyai
pemahaman yang salah, maka orang tersebut harus merubah pendapatnya dengan
mengikutinya. Sikap ujub pada diri Ibnu Taimiyah ini telah diingatkan oleh Adz-Dzahabi[1]sebagai berikut:
“Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran
kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar
yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?
Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji
pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?...
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan
berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka
sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul
tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka
adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat
mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan
tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan
sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan)
kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan
manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara
tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu
yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)”
2)
Demi
mempertahankan harga dirinya -yang menurut pengagumnya- sebagai ulama nomor wahid (syaikhul Islam),
Ibnu Taimiyah tega melakukan dua hal, yaitu:
a)
Ibnu Taimiyah
lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mencari argumentasi dalam membantah
ulama yang menentangnya dengan tanpa mau mengevaluasi diri, apakah pendapatnya
yang salah atau pendapat mereka yang salah. Melihat sikap gurunya ini, Adz-Dzahabi memberikan nasehat sebagai berikut:
“Tidakkah sekarang ini
saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk
bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam
umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin
mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan
mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin
engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya
engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan
tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian
bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku
sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
b)
Ibnu Taimiyah rela mencela, melemahkan dan mengubah
status hadist untuk menjustifikasi kebenaran pendapatnya. Perbuatan Ibnu
Taimiyah ini telah diingatkan Adz-Dzahabi sebagai berikut:
“Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu
sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah
memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh
Muslim) dengan caramu tersebut?!
Oh… Seandainya
hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi
sebaliknya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau
mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus
ditakwil, dan ini harus diingkari”
c)
Ibnu Taimiyah tega mencaci dan
memusuhi ulama besar yang
berbeda pendapat dengannya. Sikapnya ini juga telah diingatkan oleh Adz-Dzahabi
sebagai berikut:
Hai Bung…! (Ibn
Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar,
engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak
pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau
terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi
Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu
melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya
sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang
munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak bicara
tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan
menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam
ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum
filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.”