Blogger templates

Selasa, 18 Maret 2014

IBNU TAIMIYAH: SEBAB=SEBAB PENYIMPANGAN EDISI 4

Sebab-Sebab penyimpangan Ibnu Taimiyah
Pada awalnya, Adz-Dzahabi sangat mengagumi dan menyanjung Ibnu Taimiyah, kemudian mencela dan menasehatinya karena banyaknya penyimpangan yang dilakukannya. Dalam kitab Bayan zaghl al-Ilmi wa al-Thalab hal. 17 yang dikutip oleh Syaikh Idahram Menurutnya, Ibnu Taimiyah menyimpang dari ajaran Islam karena tiga hal, yaitu:
1)   Ibnu Taimiyah mempunyai sifat sombong (ujub) yang senang memuji diri sendiri.
Dengan berbagai kelebihan yang diberikan oleh Allah (kecerdasan, penguasaan berbagai disiplin ilmu, posisi yang selalu dipuji dan ditempatkan pada tempat yang tinggi oleh para pengagumnya) telah mengantarkannya menjadi pribadi yang sombong yang menganggap bahwa dirinya yang paling mampu memahami agama Islam, sedangkan yang lainnya salah. Karena orang lain mempunyai pemahaman yang salah, maka orang tersebut harus merubah pendapatnya dengan mengikutinya. Sikap ujub pada diri Ibnu Taimiyah ini telah diingatkan oleh Adz-Dzahabi[1]sebagai berikut:
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?
Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?...
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
2)   Demi mempertahankan harga dirinya -yang menurut pengagumnya- sebagai ulama nomor wahid (syaikhul Islam), Ibnu Taimiyah tega melakukan dua hal, yaitu:
a)      Ibnu Taimiyah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mencari argumentasi dalam membantah ulama yang menentangnya dengan tanpa mau mengevaluasi diri, apakah pendapatnya yang salah atau pendapat mereka yang salah. Melihat sikap gurunya ini, Adz-Dzahabi memberikan nasehat sebagai berikut:
Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
b)      Ibnu Taimiyah rela mencela, melemahkan dan mengubah status hadist untuk menjustifikasi kebenaran pendapatnya. Perbuatan Ibnu Taimiyah ini telah diingatkan Adz-Dzahabi sebagai berikut:
“Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!
Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebaliknya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari”
c)      Ibnu Taimiyah tega mencaci dan memusuhi ulama besar yang berbeda pendapat dengannya. Sikapnya ini juga telah diingatkan oleh Adz-Dzahabi sebagai berikut:
Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.”