Blogger templates

Selasa, 18 Maret 2014

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB: PENYIMPANGAN AJARANNYA EDISI 2

Penyimpangan ajaran Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi
Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi telah menyampaikan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah, di antaranya:
1)   Meyakini keyakinan tajsim seperti guru panutannya, yaitu Ibnu Taimiyah
2)   Mengharamkan shalawat kepada Nabi dan melarang orang membaca shalawat.
Dalam kitab Al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah, halaman 142, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan menjelaskan bahwa Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi melarang orang lain membaca shalawat kepada Nabi SAW., karena –menurutnya-  membaca shalawat dapat menodai ajaran tauhid. Dia juga merasa merasa tersiksa jika mendengar orang membaca shalawat. Bahkan dia tega menyiksa dan membunuh[1] orang yang membaca shalawat.[2]
3)   Menyamakan perbuatan yang dilakukan al-Najdi sama dengan perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah, bahkan al-Najdi berani menyalahkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw seperti menyalahkan apa yang diputuskan oleh Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah.
Para pengikut al-Najdi menyamakan perbuatan syaikhnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, seperti menyamakan percobaan pembunuhan terhadap al-Najdi sama dengan kejadian Suraqah yang berusaha membunuh Rasulullah; pindahnya al-Najdi dari Huraimila sama dengan hijrahnya Rasulullah dari Mekkah.[3] Penyerangan terhadap kaum muslimin dengan menghalalkan darah dan hartanya sama dengan jihad dan ghazawah (peperangan Rasulullah dan para sahabatnya karena mempertahankan Islam). Kemenangan prang mereka seperti futuhat (fathu Makkah). Orang yang tunduk kepada mereka disebut muslim, sedangkan orang yang tidak sepaham disebut murtad.[4]
4)   Menafsirkan al-Qur’an dan berijtihad semaunya.
Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi berfatwa kepada pengikutnya untuk menggali hukum dari sumbernya langsung yaitu al-Qur’an dan al-Hadis sesuai dengan kadar kemampuannya tanpa mempelajari dan memperhatikan kaidah ilmu tata bahasa arab (sharaf, mantiq, bayan dll). An-Najdi juga melarang pengikutnya untuk membaca kitab tafsir, fiqh, hadis dan karya-karya ulama yang kompeten di bidangnya karena kitab-kitab tersebut mengandung kebatilan dan kesesatan. Fatwa al-Najdi ini didokumentasikan oleh Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dalam kitab Al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah, halaman 142-143 sebagai berikut:
“Berijtihadlah sesuai pemahaman dan pendapat kalian. Hukumilah dengan apa yang kalian lihat cocok untuk agama ini, jangan kalian melihat pada buku-buku ini yang didalamnya ada kebenaran dan kebatilan.”[5]
5)   Mengkafirkan ulama yang tidak sepaham dengannya
Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi bersikap keras kepada ulama yang tidak sepaham dengannya, bahkan mengkafirkannya. Sikap ini dapat dilihat fatwa-fatwanya, di antaranya:
a)   Al-Najdi mensejajarkan orang bertawassul dengan orang kafir, padahal bertawassul merupakan perbuatan yang sangat jelas diperbolehkan oleh agama (lihat sub bab tawasul).
Dalam kitab Kasyfu al-Syubuhat halaman 39, Al-Najdi menggambarkan umat Islam bertawassul dengan sebutan sebagai berikut:
“Mereka orang-orang kafir beribadah memohon kepada Allah siang dan malam. Di antara mereka ada yang memohon kepada malaikat untuk kemaslahatan dan kedekatan mereka kepada Allah agar mereka memohonkan ampun kepada Allah untuknya. Atau memohon kepada orang saleh seperti Lata. Atau kepada Nabi seperti Isa. Dan aku paham betul bahwa Rasulullah memerangi mereka disebabkan kemusyrikan ini…Mereka berteriak sebagaimana saudara mereka orang-orang kafir berteriak: “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu hanya satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan (QS Shaad:5)”
Dengan pengkafiran umat Islam yang bertawassul ini al-Najdi telah mengkafirkan mayoritas ulama dan umat Islam. Padahal Allah berfirman:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ (٣٥)مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ (٣٦)
Artinya: “ Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? atau Ada apa dengan kalian: Bagaimana bisa kamu menghukumi seperti itu? (QS al Qalam: 35-36)
b)   al-Najdi mengkafirkan Syaikh Sulaiman ibnu Suhaim (tokoh madzhab Hanbali) melalui surat yang didokumentasikan dalam kitab Al-Durar al- Saniyyah jilid 10 halaman 31:
نذكر لك انك انت واباك مصرحون بالكفر والشرك والنفاق!!...
“Kuingatkan kepadamu, sesungguhnya kamu dan ayahmu telah dengan jelas melakukan kekafiran, kemusyrikan dan kemunafikan.”[6]
c)   al-Najdi mengkafirkan Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’in dan Ibnu al-Farid dalam kitab Al-Durar al- Saniyyah jilid 10 halaman 33:
فابن عربي,وابن سبعين, وابن الفارض,لهم عبادات وصدقات,ونوع تقشف وتزهد,وهم اكفر اهل الارض...
“Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’in dan Ibnu al-Farid, mereka melakukan ibadah, sedekah, kesalehan dan kezuhudan, tapi mereka adalah orang yang paling kafir di muka bumi.”
d)  al-Najdi mengkafirkan para sufi dalam kitab Al-Durar al- Saniyyah jilid 10 halaman 54:
من اعظم الناس ضلالا متصوفة فى معكال وغيره... يتبعون مذهب ابن عربي وابن الفارض
“Orang yang paling sesat adalah para sufi di Ma’kal dan tempat lainnya…Mereka mengikuti jalan Ibnu Arabi dan Ibnu al-Faridl.”
6)   Mewajibkan orang yang hendak masuk Islam[7] atau meneguhkan keislaman agar bersaksi atas kekafiran diri dan keluarganya, sekaligus halal darahnya.
Dalam kitab Al-Durar al-Saniyyah, jilid 10 halaman 143, Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi menyatakan bahwa setiap orang Islam yang akan masuk ke dalam golongan wahabi harus mengatakan bahwa sebelumnya dirinya telah kafir dan orangtuanya yang mati telah mati dalam keadaan kafir. Jika ia tidak mau melakukannya dan tidak mau mengakuinya, maka dia akan dibunuh dan hartanya menjadi fai bagi kaum wahabi.[8]
Dalam kitab al-Nushush al-Islamiyyah fi al-Radd ‘ala Madzhab al-Wahhabiyyah hal.7-8, Muhammad Faqih Ibnu Abdul Jabbar al-Jawi menjelaskan bahwa jika ada orang yang mengikuti faham Wahabi dan telah melakukan ibadah haji, maka syaikhnya (Muhammad Ibn Abdul Wahab Al-Najdi) memerintahkan untuk berhaji lagi, karena ketika ia berhaji ia masih musyrik yang dapat dipastikan hajinya tidak diterima. Dengan demikian, kewajiban hajinya belum gugur dan harus dilaksanakan kembali.[9]



[1]Ada riwayat  yang menjelaskan bahwa ketika seorang muadzin shalih bermata buta yang mempunyai suara merdu membaca shalawat setelah adzan, seketika itu juga, muadzin tersebut  dibunuh oleh orang suruhan Muhammad Abdul Wahab al-Najdi. Kemudian Muhammad ibnu Abdul Wahab berkata: “Sesungguhnya dosa seorang pelacur lebih ringan ketimbang dosa seorang yang bershalawat  kepada Nabi SAW. di atas menara.”

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB: BIOGRAFI SINGKAT EDISI 1

Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad ibn Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid at-Tamimi.Ia dilahirkan di Nejd pada tahun 1115 H, dan wafat di Diryah dengan usia yang sangat tua (91 tahun) yaitu pada tahun 1201 H.[1]
Ibnu Abdul Wahab kecil belajar agama kepada ayahnya sendiri yang menjadi qadhi dengan madzhab Hanbali. Kemudian, ia belajar agama kepada Syaikh Muhamamd Ibnu Sulaiman al-Kurdi, Syaikh Muhammad Hayat al-Sindi dan ulama lainnya dalam madzhab Hanbali.[2]
Proses belajarnya Ibnu Abdul Wahab dalam bidang agama ini berlangsung dalam waktu yang minim dan terputus-putus, sehingga ilmu yang diperolehnya tidak maksimal. Menurut Syaikh Idahram dengan mengambil istilah al-Mas’ari menggambarkan posisi Muhammad Ibnu Abdul Wahab saat itu layaknya ‘ustadz kampung’ yang biasa-biasa saja, tidak dikenal ketokohan dan keulamaannya oleh ulama yang hidup semasanya, bahkan tidak diperhitungkan keberadaannya.[3] Ulama-ulama Wahabi juga mengakui bahwa Muhammad Ibn Abdul Wahab semasa hidupnya tidak pernah digelari sebagai imam.[4] Justru semasa belajar, para guru dan ayahnya sendiri mencium gelagat penyimpangan yang ada pada diri Ibnu Abdul Wahab, terutama setelah melihat kegemarannya membaca kisah kenabian (nabi palsu) Musailamah al-Kadzdzab, Sajah, Aswad al-Unsi dan Thulaihah al-Asadi. Kekhawatiran para guru Ibnu Abdul Wahab ini diungkapkan dalam bentuk nasehat keprihatinan yang dikutip  Syaikh Idahram sebagai berikut: “anak ini akan tersesat dan akan menyesatkan banyak orang...”[5]
Kegemarannya mengembara untuk berdagang sekaligus menuntut ilmu menjadi salah satu penyebab banyaknya fatwa kontroversial keluar dari diri Muhammad Ibn Abdul Wahab. Sebagai contoh, di Damsyik (Damaskus), ia menghabiskan waktunya dengan mempelajari kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah yang banyak mengandung kontroversi. Di Basrah, ia bertemu orang orientalis yang menyamar sebagai syaikh Muhammad al-Majmu’i[6]. Ia banyak bertukar pikiran dan berguru kepadanya. Ia tidak mengetahui bahwa gurunya tersebut sedang menjalankan misi besar, yaitu menjadi agen kerajaan Inggris untuk mencari titik lemah kekuatan Turki, sekaligus mencari cara untuk menghancurkan Turki.[7] Penyimpangan semakin parah setelah dua agen wanita Inggris yang bernama samaran Safiyya[8] dan Asiya[9] menjalankan misinya  untuk mendoktrin Muhammad Ibn Abdul Wahab dengan berbagai ajaran sesat dengan imbalan rela dinikani mut’ah.
Setelah melakukan pengembaraan panjang, Muhammad Ibn Abdul Wahab kembali ke Najd dengan didampingi syaikh Muhammad al-Majmu’i. Pada tahun 1143 H, Muhammad Ibn Abdul Wahab mulai menyampaikan keyakinannya yang dianggap menyimpang kepada orang-orang awam di Najd. Namun, ayah dan masyayikh di daerahnya menghalau ajaran tersebut. Penyimpangan ajaran Muhammad Ibn Abdul Wahab disebabkan oleh
Pada tahun 1153 H, setelah banyaknya wafat, ia dengan leluasa menyebarkan ajarannya. Karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam, masyarakat marah, hampir-hampir ia terbunuh. Maka, larilah ia ke kota ‘Uyainah. Untuk memudahkan dakwahnya, ia merapat kepada emir (penguasa di kota tersebut) dengan cara menikahi salah satu kerabat emir. Dengan menjadi bagian dari keluarga penguasa, Ibn Abdul Wahab menyampaikan ajarannya kepada masyarakat. Akan tetapi, masyarakat ‘Uyainah merasa keberatan atas ajarannya, bahkan mengusirnya keluar dari kota tersebut.[10]
Dengan perasaan marah, galau dan dendam, Ibn Abdul Wahab  menuju Dir’iyah, yaitu daerah Musailamah al-Kadzzab (nabi palsu) beserta pengikutnya yang murtad. Di kota inilah, ia mendapatkan dukungan penuh dari emir (Muhammad Ibnu Sa’ud) dan masyarakatnya. Bahkan pada tahun 1165 H, keduanya menjalin kesepakatan untuk saling mendukung dalam politik maupun dalam da’wah. Dari sinilah awal penyebaran ajaran ibn Abdul Wahab berkembang, sekaligus kota Dir’iyah menjadi pusat dakwah Ibn Abdul Wahab. Dengan kekuatan  tentaranya inilah Ibn Abdul Wahab mengukir sejarah berdarah yang menumpahkan darah ribuan ulama dan kaum muslimin yang berbeda faham dengannya.
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya digunakan untuk menyebarkan ajarannya serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Pada tanggal 29 Syawal 1206 H, Muhammad bin Abdulwahab meninggal dunia dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).

[6] Nama aslinya Hempher. Ia tokoh oientalis yang ahli bahasa Arab, Turki dan Parsi. Ia telah lama mempelajari Islam di Turki dan Iraq. Jika anda ingin mengetahui lebih lengkap tentang Hempher klik http://asmar.perso.ch/hempher/spy/
[7] Dengan kemampuannya di bidang kajian Islam, Hempher mampu membius Muhammad ibn Abdul Wahab dengan ajaran-ajaran sesat yang dibingkai dengan dalil Al-Qur’an dan Hadis. Ada dua prinsip yang ditanamkan oleh Hempher dalam diri Ibnu Abdul Wahab, yaitu:
1.       Ajaran Islam yang dianut oleh umat Islam waktu itu sudah menyimpang dari prinsip-prinsip dasar, bahkan mereka telah melakukan perbuatan bid’ah dan syirik. Karena itu, orang-orang Islam harus diselamatkan. Jika tidak mau, maka halal darahnya.
2.       Muhammad ibn Abdul Wahab akan menjadi orang besar yang bertugas menyelamatkan umat Islam dari ajaran bid’ah, syirik dan tahayyul. Isyarat itu Hempher dapatkan dari mimpinya yang melihat Nabi Muhammad saw. mencium kening Ibnu Abdul Wahab dengan mengatakan hal tersebut  diatas.
Setelah mampu mendoktrin Muhammad ibn Abdul Wahab, Hempher menggambarkan dalam memoarnya bahwa Muhammad Ibnu Abdul Wahab mempunyai jiwa “sangat tidak stabil” (extremely unstable), “sangat kasar” (extremely rude), berakhlak bejat (morally depraved), selalu gelisah (nervous), congkak (arrogant), dan dungu (ignorant). Lebih detailnya, memoar Hempher dapat di download dengan judul “Confessions of a British Spy” di: http://www.ummah.net/Al-adaab/spy1-7.html
[8] Safiyya adalah agen wanita Inggris beragama Kristen. Ia dikenalkan oleh Hempher , sekaligus dinikahkan mut’ah dengan Ibnu Abdul Wahab selama 1 minggu. Kemudian nikah mut’ah ini diperpanjang menjadi 2 bulan setelah pindah ke Isfahan (Iran).
[9] Asiya adalah agen wanita Inggris beragama Yahudi. Asiya dikenalkan oleh Abdul Karem (agen Inggris yang menyamar) untuk dinikahi mut’ah oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab.
[10]Dalam situs Wikipedia.com dijelaskan Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz dalam bukunya “Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab, Da'watuhu Wasiratuhu” memberikan pembelaan dengan menjelaskan sebab kepindahan Ibnu Abdul Wahab dari ‘Uyainah adalah untuk menghindari pertumpahan darah. Ia seorang diri meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan berjalan kaki. Perjalanan ini Ia lakukan pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari.
Masih dalam situs yang sama disebutkan bahwa pada mulanya Muhammad Ibn Abdul Wahab mendapat dukungan penuh dari pemerintah negeri Uyainah. Namun, setelah terjadi pertentangan dan pergolokan dengan para tokoh ulama di ‘Uyainah, pemerintah mencabut dukungannya. Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.

IBNU TAIMIYAH: UPAYA ULAMA MEMINIMALISIR AJARANNYA EDISI 5


Upaya Ulama meminimalisir ajaran Ibnu Taimiyah yang Salah
Upaya meminimalisasi dan meredam penyebaran ajaran Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya telah dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai cara, di antaranya:
1)   Melalui jalur penguasa
Sultan Muhammad ibnu Qalawun (w. 741 H) telah memenjarakan Ibnu Taimiyah dan mengeluarkan keputusan resmi  pemerintah untuk dibaca di semua masjid di Mesir dan Syam agar masyarakat menjauhi dan mewaspadai Ibnu Taimiyah dan pengikutnya. 
2)   Melalui karya ilmiah
Ulama besar ahlussunnah berusaha meluruskan pendapat Ibnu Taimiyah yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Di antara ulama yang meluruskan dan membantah ajaran Ibnu Taimiyah[1] adalah :
*   Al-Qâdlî al-Mufassir Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Jama'ah asy-Syafi'i (w 733 H).
*   Al-Qâdlî Ibn Muhammad al-Hariri al-Anshari al-Hanafi.
*   Al-Qâdlî Muhammad ibn Abi Bakr al-Maliki.
*   Al-Qâdlî Ahmad ibn Umar al-Maqdisi al-Hanbali.
Ke empat ulama yang juga menjabat qodhi inilah yang merekomendasikan fatwa untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah.
*   Syekh Shaleh ibn Abdillah al-Batha-ihi, Syekh al-Munaibi' ar-Rifa'i. salah seorang ulama terkemuka yang telah menetap di Damaskus (w 707 H).
*   Syekh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan Ali as-Sarraj ar-Rifa'i al-Qurasyi asy-Syafi'I (ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah) dengan kitabnya “Tuffâh al-Arwâh Wa Fattâh al-Arbâh”
*   Syekh Tajuddin Ahmad ibn ibn Athaillah al-Iskandari asy-Syadzili (w 709 H). Beliau adalah ahli Fiqih, teologi dan ahli tasawwuf terkemuka di masanya
*   Syekh Ahmad ibn Ibrahim as-Suruji al-Hanafi (w 710 H). Beliau adalah Pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) di seluruh wilayah negara Mesir. Kitabnya bernama “I'tirâdlât 'Alâ Ibn Taimiyah Fi 'Ilm al-Kalâm.
*   Syekh Ali ibn Makhluf (w 718 H). Beliau adalah pimpinan para hakim madzhab Maliki di seluruh wilayah negara Mesir pada masanya
*   Syekh al-Faqîh Ali ibn Ya'qub al-Bakri (w 724 H). Ketika Ibn Taimiyah masuk wilayah Mesir, beliau menjadi salah seorang ulama terkemuka yang menentang dan memerangi berbagai faham sesatnya.
*   Al-Faqîh Syamsuddin Muhammad ibn Adlan asy-Syafi'i (w 749 H). Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah yang telah mengutip langsung bahwa di antara kesesatan Ibn Taimiyah mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy, dan secara hakekat Dia berada dan bertempat di atasnya, juga mengatakan bahwa sifat Kalam Allah berupa huruf dan suara.
*   Imam al-Hâfizh al-Mujtahid Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 756 H) dengan kitabnya: al-I'tibâr Bi Baqâ' al-Jannah Wa an-Nâr; ad-Durrah al-Mudliyyah Fî ar-Radd 'Alâ Ibn Taimiyah; Syifâ' as-Saqâm Fî Ziyârah Khair al-Anâm; an-Nazhar al-Muhaqqaq Fi al-Halaf Bi ath-Thalâq al-Mu'allaq; Naqd al-Ijtimâ' Wa al-Iftirâq Fî Masâ-il al-Aymân Wa ath-Thalâq; at-Tahqîq Fî Mas-alah at-Ta'lîq; Raf'u asy-Syiqâq Fî Mas'alah ath-Thalâq.
*   Al-Muhaddits al-Mufassir al-Ushûly al-Faqîh Muhammad ibn Umar ibn Makki yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Murahhil asy-Syafi'i (w 716 H). Di masa hidupnya ulama besar ini telah berdebat dan memerangi Ibn Taimiyah.
*   Imam al-Hâfizh Abu Sa'id Shalahuddin al-'Ala-i (w 761 H) dengan kitabnya Ahâdîts Ziyârah Qabr an-Naby.
*   Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Musallam ibn Malik ash-Shalihi al-Hanbali (w 726 H). Beliau adalah pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât) kota Madinah
*   Imam Syekh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal (w 733 H). Beliau hidup semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri. Kitab yang disusunnya bernama “Risâlah Fî Nafyi al-Jihah”.
*   Al-Qâdlî Kamaluddin ibn az-Zamlakani (w 727 H). Ulama besar yang semasa dengan Ibn Taimiyah ini telah memerangi seluruh kesesatan Ibn Taimiyah.
*   Al-Qâdlî Shafiyuddin al-Hindi (w 715 H), semasa dengan Ibn Taimiyah sendiri.
*   Al-Faqîh al-Muhaddits Ali ibn Muhammad al-Baji asy-Syafi'i (w 714 H).
*   al-Faqîh al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu'allim al-Qurasyi (w 725 H). Beliau adalah Sejarawan terkemuka (al-Mu-arrikh) dengan kitabnya “Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu'tadî
*   Al-Faqîh Muhammad ibn Ali ibn Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi (w 721 H) dengan kitabnya Risâlah Fî ar-Radd 'Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah ath-Thalâq; Risâlah Fî ar-Radd 'Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah az-Ziayârah
*   Al-Faqîh Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733 H) dengan kitabnya “Risâlah Fi ar-Radd 'Alâ Ibn Taimiyah”
*   Al-Faqîh al-Muhaddits Jalaluddin al-Qazwini asy-Syafi'i (w 739 H).
*   As-Sulthan Ibn Qalawun (w 741 H). Beliau adalah Sultan kaum Muslimin saat itu, telah menuliskan surat resmi perihal kesesatan Ibn Taimiyah.
*   Al-Hâfizh adz-Dzahabi (w 748 H) yang merupakan murid Ibn Taimiyah sendiri. Kitab yang disusunnya adalah Bayân Zaghl al-'Ilm Wa ath-Thalab. • an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah.
*   Al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (745 H) dengan kitabny Tafsîr an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth
*   Syekh Afifuddin Abdullah ibn As'ad al-Yafi'i al-Yamani al-Makki (w 768 H).
*   Al-Faqîh Syekh Ibn Bathuthah, salah seorang ulama terkemuka yang telah banyak melakukan rihlah (perjalanan).
*   Al-Faqîh Tajuddin Abdul Wahhab ibn Taqiyuddin Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki (w 771 H).dengan kitabnya Thabaqât asy-Syâfi'iyyah al-Kubrâ
*   d Ibn Syakir al-Kutubi (w 764 H). Beliau adalah ahli sejarah terkemuka (al-Mu-arrikh) dengan kitabnya 'Uyûn at-Tawârikh.
*   Syekh Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H). • at-Tuhfah al-
*   Mukhtârah Fî ar-Radd 'Alâ Munkir az-Ziyârah
*   Al-Qâdlî Muhammad as-Sa'di al-Mishri al-Akhna'i (w 750 H) dengan kitabnya al-Maqâlât al-Mardliyyah Fî ar-Radd 'Alâ Man Yunkir az-Ziyârah al-Muhammadiyyah. Kitab ini dicetak satu kitab dengan al-Barâhîn as-Sâthi'ah karya Syekh Salamah al-Azami.
*   Syekh Isa az-Zawawi al-Maliki (w 743 H) dengan kitabnya Risâlah Fî Mas-alah ath-Thalâq.
*   Syekh Ahamad ibn Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H) dengan kitabnya al-Abhâts al-Jaliyyah Fî ar-Radd 'Alâ Ibn Taimiyah.
*   Imam al-Hâfizh Abdul Rahman ibn Ahmad yang dikenal dengan Ibn Rajab al-Hanbali (w 795 H) dengan kitabnya Bayân Musykil al-Ahâdîts al-Wâridah Fî Anna ath-Thalâq ats-Tsalâts Wâhidah.
*   Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani (w 852 H) dengan kitabnya ad-Durar al-Kâminah Fî A'yân al-Mi-ah ats-Tsâminah; Lisân al-Mizân; Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri; al-Isyârah Bi Thuruq Hadîts az-Ziyârah.
*   Imam al-Hâfizh Waliyuddin al-Iraqi (w 826 H) dengan kitabnya al-Ajwibah al-Mardliyyah Fî ar-Radd 'Alâ al-As-ilah al-Makkiyyah.
*   Al-Faqîh al-Mu-arrikh Imam Ibn Qadli Syubhah asy-Syafi'i (w 851 H). • dengan kitabnya Târîkh Ibn Qâdlî Syubhah.
*   Al-Faqîh al-Mutakallim Abu Bakar al-Hushni penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr (829 H) dengan kitabnya Daf'u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasaba Dzâlika Ilâ Imam Ahmad.
*   Syekh Abu Abdillah ibn Arafah at-Tunisi al-Maliki (w 803 H). Beliau adalah salah seorang ulama terkemuka di daratan Afrika pada masanya;
*   Al-'Allâmah Ala'uddin al-Bukhari al-Hanafi (w 841 H).
*   Imam al-Hâfizh as-Sakhawi dalam kitab adl-Dlau' al-Lâmi'.
*   Imam Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H) dengan kitabnya “al-Rasail al-Subkiyyah fi al-Raddi ala Ibn Taimiyah” dan kitab “al-Durrah al-Mudhiyyah fi al-Raddi ala Ibn Taimiyah
*   Syaikh Taqiyyuddin al-Husni (w. 829 H) dengan kitabnya “Daf’u SyubahMan Syabbaha wa Tamarrada
*   Sha’ib Abdul Hamid dengan kitabnya “al-Wahhabiyyah fi Shuratiha al-Haqiqiyyah”
*   Syaikh Mishbah ibnu Ahmad Syibqalu al-Bairuti dengan kitabnya “al-Dalil al-Kafi fi al-Raddi ala al-wahhabi”
*   Al-Muhaddis Syekh Abdullah al-Harrari dalam kitabnya “al-Maqalat al-Sunniyyah fi Kasyfi Dhalalat Ahmad Ibn Taimiyah
*   Dan lain-lain
3)   Melalui nasehat
Nasehat yang disampaikan ulama tentang Ibnu Taimiyah terbagi menjadi dua, yaitu:
a)   Nasehat kepada Ibnu Taimiyah
Nasehat kepada Ibnu Taimiyah tentang berbagai aktivitas dan kenyelenehannya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam disampaikan oleh Imam Adz Dzahabi dalam Risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah juz 2: halaman  9-11 dengan terjemahan sebagai berikut:
“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.
Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!
Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh… Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!
Oh… Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!
Oh… Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!
Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.
Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)
Hai Bung…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)
Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.
Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??
Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.
Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.
Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.
Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!
Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!
Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!
Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebaliknya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.
Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.
Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat menyayangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.
Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.
Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian.[2]
b)   Nasehat kepada kaum muslimin, terutama para pecinta ilmu agar berhati-hati terhadap ajaran Ibnu Taimiyah beserta pengikutnya, di antaranya:
1)) Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitabnya Al Fatawa Al Haditsa: 114 berpesan sebagai berikut:
و أياكَ أن تصغِيْ إلى ما في كتب إبن تيمية و تلميذه إبن القيم المُلْحِدون قلبه و جعل على بصرِهِ غشاوَةً                              
“…Hati-hatilah kamu dari menelaah buku-buku Ibnu Taymiah dan muridnya; Ibnu al Qayyim al Jawziah dan selain keduanya dari orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan dan disesatkan Allah kendati ia pandai, serta Ia tutup telinga dan hatinya serta Ia jadikan atas penglihatannya penutup…”[3]
2)) Al-Imam al-Hafizh Taqiyy al-Din Ali ibn Abd al-Kafi al-Subki dalam kitabnya  al-Durrah al-Mudhiyyah fi al-Radd ‘ala Ibn Taimiyah mengatakan: “Ibnu Taimiyah benar-benar telah membuat bid’ah-bid’ah dalam dasar-dasar keyakinan (ushul al-‘aqa’id). Ia telah meruntuhkan tonggak-tonggak dan sendi-sendi Islam.[4]
3))  Al-Hafizh al-Faqih Waliy al-Din al-‘Iraqi berkata: “Ibnu Taimiyah telah menyalahi ijma’ dalam banyak permasalahan, kira-kira sekitar 60 masalah.”[5]