Blogger templates

Sabtu, 14 September 2013

IBNU TAIMIYAH: BIOGRAFI SINGKAT EDISI 1

Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Ahmad Taqiyyuddin Abdul ‘Abbas bin Syihabuddin, Abu Mahasin Abd.Halim bin Majduddin, Abil Barakat bin ‘Abdis Salam bin  Abi Muhammad ‘Abdullih bin Abi Utsman Al-Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin ‘Ali bin ‘Abdillah.[1] Beliau dilahirkan dari keluarga cendiawan dan ulama ternama bermadzhab Hanbali [2]pada hari Senin, 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H di desa Harran, sebuah desa yang terletak di antara Syam dan Irak (sekarang berada di sebelah tenggara Turki sekarang). Beliau lahir di saat mulai meletusnya gelombang ekspansi bangsa Mongol (Tartar) ke beberapa wilayah sekitarnya termasuk Timur Tengah.
Sejak kecil, Ibnu Taimiyah telah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Ketika berumur belasan tahun, ia sudah menguasai dan mendalami ilmu ushuluddin, tafsir, hadis dan bahasa arab yang didapat secara otodidak dan belajar dari para alim, di antaranya adalah ibnu Abd al-Dâim , Ibnu abi al-Yusr, ibnu Abdin, Syamsuddin al-Hambali, Qadhi Syamsuddin bin Atha al-Hanafi, syaikh Jamaluddin bin Shoyrafî, Majd al-Dîn bin Asâkir, syaikh Jamaluddin al- Baghdadi, Najib bin Miqdad, Ibnu abi al-Khair, Ibnu Allân, ibnu Abi Bakr al- Harawi, Kamal Abdur rahim, Fakhr Ali, Ibnu Syaibân, Syaraf bin Qawwâs dan Zainab binti Makki, dan banyak lagi.[3]
Kecerdasan dan kemampuan Ibnu Taimiyah telah mengantarkannya menjadi ulama besar bermadzhab Hanbali yang disegani. Beliau tidak hanya menguasai ilmu fiqh, tetapi juga tokoh dibidang ushuluddin[4] yang mengundang detak kagum bagi para muridnya, di antaranya Qadhi al-Khuwaini, Ibnu Daqiq al-Ied, Ibnu al-Nuhas, Qadhi Hanafi Qadhi Mesir Ibnu al-Hariri, Ibnu Zamlakani dan Al-Dzahabi.[5] Namun, sayangnya beliau terpengaruh faham kaum musyabbihah dan mujassimah dalam bidang ushuluddin yang menyebabkan dia dihujat dan dianggap menyimpang dari ajaran Rasulullah saw.[6] Bahkan, keyakinan tasybih ini  mengantarkannya pada jeruji besi hingga akhir hayatnya.[7]
Penyimpangan fatwa Ibnu Taimiyah juga terjadi dalam bidang fiqh. Beliau banyak memberi fatwa yang keluar dari garis madzhab Hanbali. Meskipun demikian, beliau tidak pernah memproklamirkan diri sebagai mujtahid mutlak. Beliau tetap komitmen terhadap garis-garis ushul yang dibangun dalam madzhab Hanbali.[8]



[5] Imam Al-Dzahabi mengungkapkan rasa kagumnya atas kemampuan dan kecerdasan gurunya dalam kitab al-‘Uluw berdasarkan manhaj Ibnu Taimiyah.Namun kekaguman beliau ini pupus setelah mengetahui penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah. Beliau meralat pendapatnya tentang Ibnu Tamiyah dalam kitab Bayan Zaghl al-Ilmi wa al-Thalab dan kitab al-Nashihah al-Dzahabiyyah li Ibn Taimiyah.
[7] Kisah dipenjaranya Ibnu Taimiyah terdapat dalam literatur kitab mu’tabar seperti Ad-Duraru Al-Kaminah karya Ibnu Hajar, kitab Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab karya As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah. Dengan referensi kitab di atas, Al-Katibiy dalam http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html (dengan perubahan redaksi dari penulis) sebagai berikut:
" Pada tanggal 8 Rajab tahun 705, diadakan sidang tentang penyimpangan ajaran Ibnu Taimiyah dengan pembacaan kitabnya yang berjudul “Aqidah Al-Wasithiyyah”. Ketika sidang terjadi perdebatan panjang yang akhirnya banyak pembahasan yang belum diselesaikan pada hari berikutnya
Pada tanggal 6 Rabi'ul Awwal tahun 707, Ibnu Taimiyyah menyatakan taubatnya dari akidah dan ajaran sesatnya di hadapan para ulama Ahlus sunnah wal jama'ah dari kalangan empat madzhab, bahkan ia membuat perjanjian kepada para ulama dan hakim dengan tertulis dan tanda tangan untuk tidak kembali ke ajaran sesatnya. Surat perjanjian tersebut adalah:
الحمد الله، الذي أعتقده أن في القرءان معنى قائم بذات الله وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية وهو غير مخلوق، وليس بحرف ولا صوت، وليس هو حالا في مخلوق أصلا ولا ورق ولا حبر ولا غير ذلك، والذي أعتقده في قوله: ? الرحمن على آلعرش آستوى ? [سورة طه] أنه على ما قال الجماعة الحاضرون وليس على حقيقته وظاهره، ولا أعلم كنه المراد به، بل لا يعلم ذلك إلا الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء أقول فيه ما أقول فيه لا أعرف كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله، وليس على حقيقته وظاهره كما قال الجماعة الحاضرون، وكل ما يخالف هذا الاعتقاد فهو باطل، وكل ما في خطي أو لفظي مما يخالف ذلك فهو باطل، وكل ما في ذلك مما فيه إضلال الخلق أو نسبة ما لا يليق بالله إليه فأنا بريء منه فقد تبرأت منه وتائب إلى الله من كل ما يخالفه وكل ما كتبته وقلته في هذه الورقة فأنا مختار فى ذلك غير مكره.((كتبه أحمد بن تيمية) وذلك يوم الخميس سادس شهر ربيع الآخر سنة سبع وسبعمائة

" Segala puji bagi Allah yang aku yakini bahwa di dalam Al-Quran memiliki makna yang berdiri dengan Dzat Allah Swt yaitu sifat dari sifat-sifat Dzat Allah Swt yang maha dahulu lagi maha azali dan al-Quran bukanlah makhluq, bukan berupa huruf dan suara, bukan suatu keadaan bagi makhluk sama sekali dan juga bukan berupa kertas dan tinta dan bukan yang lainnya. Dan aku meyakini bahwa firman Allah Swt "
الرحمن على آلعرش آستوى adalah apa yang telah dikatakan oleh para jama'ah (ulama) yang hadir ini dan bukanlah istawa itu secara hakekat dan dhohirnya, dan aku pun tidak mengetahui arti dan maksud yang sesungguhnya kecuali Allah Swt, bukan istawa secara hakekat dan dhohir seperti yang dinyatakan oleh jama'ah yang hadir ini. Semua yang bertentangan dengan akidah I ni adalah batil. Dan semua apa yang ada dalam tulisanku dan ucapanku yang bertentangan dari semua itu adalah batil. Semua apa yang telah aku gtulis dan ucapkan sebelumnya adalah suatu penyesatan kepada umat atau penisbatan sesuatu yang tidak layak bagi Allah Swt, maka aku berlepas diri dan menjauhkan diri dari semua itu. Aku bertaubat kepada Allah dari ajaran yang menyalahi-Nya. Dan semua yang aku dan aku ucapkan di kertas ini maka aku dengan suka rela tanpa adanya paksaan. "Telah menulisnya : (Ahmad Ibnu Taimiyyah) Kamis, 6 Rabiul Awwal 707 H.
Di atas surat pernyaan itu telah ditanda tangani di bagian atasnya oleh Ketua hakim: Badruddin bin jama'ah.
Pernyataan ini telah disaksikan, diakui dan ditanda tangani oleh : Muhammad bin Ibrahim Asy-Syafi'i, Abdul Ghoni bin Muhammad Al-Hanbali; Ahmad bin Rif'ah (pengarang kitab Al-Matlabu Al-'Aali " syarah dari kitab Al-Wasith imam Ghozali sebanyak 40 jilid); Abdul Aziz An-Namrowi; Ali bin Miuhammad bin Khoththob Al-Baji Asy-Syafi'I; Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Husaini; Abdullah bin jama'ah; Muhammad bin Utsman Al-Barbajubi. Mereka semua adalah para ulama besar di masa itu.
Namun, karena Ibnu Taimiyah melanggar perjanjian tersebut dengan tetap menyampaikan ajaran yang sesat, maka berulang-ulang di penjara hingga akhir hayatnya pada tanggal 22 Dzulqo'dah tahun 728 H.

DIBALIK NAMA SALAFI


Kata salafi berasal dari bahasa Arab, yaitu al-salaf yang berarti “orang-orang yang hidup sebelum zaman kita.”[1] Sedangkan pengertian dari “orang-orang yang hidup sebelum zaman kita” adalah tiga generasi pertama sepeninggal Rasulullah, yaitu generasi shahabât, tâbi’în dan tâbi’ al- tâbi’în.[2] Pengertian ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sebagai berikut:
Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka  (tâbi’în), kemudian yang mengikuti mereka (tâbi’ al- tâbi’în)
Dari pengertian salafi di atas diketahui bahwa semua orang Islam yang mengikuti ajaran Islam sebagaimana ajaran yang dilaksanakan oleh shahabât, tâbi’în dan tâbi’ al- tâbi’în adalah salafi, tanpa harus menunjukkan pada orang lain bahwa dirinya adalah seorang salafi. Bahkan setiap orang yang mengaku beragama Islam, pada hakikatnya adalah salafi, meskipun kadar ke”salafi”annya hanya sedikit, sebab mereka mengikuti ajaran shahabât, tâbi’în dan tâbi’ al- tâbi’în.
Perlu digarisbawahi bahwa kata salafi sudah digunakan sejak zaman Nabi Muhammad Saw.[3] Tetapi kata salaf ini tidak menunjuk pada sebuah mazhab dalam Islam atau sekelompok orang yang memiliki keyakinan sama. Oleh karena itulah para shahabât, tâbi’în, tâbi’ al- tâbi’în, imam mazhab, imam ahli tafsir dan imam ahli hadis, mereka tidak ada yang menyebutkan diri mereka dan pengikutnya sebagai kelompok salafi. Mereka tetap menamakan diri mereka sebagai umat Islam (muslim dan mukmin).
Pada akhir abad ke-19 Masehi, muncullah gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Menurut Muhammad Abu Zahrah yang dikutip Syaikh Idahram menjelaskan bahwa Muhammad Abduh mengusung istilah “salafi” untuk 2 tujuan, yaitu: (1) untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan fanatik yang tinggi terhadap perjuangan umat Islam pada waktu itu; (2)untuk membendung pengaruh sekularisme, penjajahan dan hegemoni barat atas dunia Islam.[4]
Kemudian, pada akhir-akhir ini, pengertian salafi didistorsi maknanya oleh golongan wahabi untuk menunjukkan identitas golongannya. Mereka memproklamirkan diri sebagai “golongan salafi”[5] yang merupakan satu-satunya pemegang ajaran al-salafu al-shâlih (yaitu pengikut ajaran shahabât, tâbi’în dan tâbi’ al- tâbi’în).[6] Mereka mengusung platform “dakwah yang sangat terpuji” yaitu, memerangi syirik, pengkultusan kuburan dan membersihkan Islam dari bid’ah dan khurafat.[7]
Ada agenda besar ingin dicapai golongan wahabi dengan penyebutan diri  sebagai golongan salafi, yaitu dengan menggunakan nama salafi diharapkan masyarakat muslim mudah dikelabui bahwa dialah satu-satunya pemegang ajaran al-salafu al-shâlih (yaitu pengikut ajaran shahabât, tâbi’în dan tâbi’ al- tâbi’în). Dengan demikian, masyarakat muslim dengan suka rela mau menerima ajaran wahabi dan membuang jauh-jauh ajaran yang tidak sesuai dengan doktrinnya.



[1]Abu al-Fadhl Muhammad ibnu Manzhur, Qamus Lisan al-Arab jilid 6, Dar al-Shadr, Lebanon, 1410 H, hal. 330
[2]Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2011, hal.29
[3] Dalam kitab Sunan At-Tirmidzi, no. 975, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk mengucapkan salam ketika berziarah kubur sebagai berikut: “Semoga keselamatan untuk kalian wahai ahli kubur, semoga Allah mengampuni kami dan kalian, kalian adalah salafuna (para pendahulu kami), sedangkan kami nanti akan menyusul.”
[4] Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2011, hal.29
[5]Istilah salafi pertama kali dipopulerkan oleh Nashiruddin al-Albani. Keterangan ini dapat dilihat di Majalah as-Sunnah edisi 06/IV/1420, hal 20-25  yang merekam dialog Abdul Halim Abu Syuqqah dengan salah satu pengikutnya.
[6] Perlu diketahui bahwa kata salafi sudah digunakan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Tetapi kata salaf ini tidak menunjuk pada sebuah mazhab dalam Islam atau sekelompok orang yang memiliki keyakinan sama. Oleh karena itulah para shahabât, tâbi’în, tâbi’ al- tâbi’în, imam mazhab, imam ahli tafsir dan imam ahli hadis, mereka tidak ada yang menyebutkan diri mereka dan pengikutnya sebagai kelompok salafi
[7] Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah, Op.Cit., hal 28. Syaikh Idahram menjelaskan bahwa platform dakwah wahabi ini disimpulkan dari kitab Ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi dalam kitabnya Unwan al-Majd fi Tarikh Najd, jilid 1, hal. 182.